Posts from the ‘ASKEP’ Category

Hari Pertama Aku Belajar

“Takkan pernah berhenti kau ku kejar karena saat aku memutuskan untuk berhenti saat itulah aku harus mempertanggung jawabkanmu dihadapan-Nya ”

Saat aku merasa berada pada tingkatan yang sekarang yang aku rasa, tidak akan pernah terbetik ilmuku sudah cukup. Setiap kali hal itu direnungkan yang ada adalah semakin ilmu itu dikejar semakin jauh ia akan membawaku. Terlalu naïf bila jenjang pendidikan dijadikan tolak ukur ilmu seseorang, tapi itulah apa adanya dan terlalu hina bila kadar ilmu seseorang tidak dihargai dengan gelar yang pantas ia terima.

Bukankah sumber kehidupan yang pertama adalah bagaiman kita mengetahui? ……………………

ASUHAN KEPERAWATAN BPH

LAPORAN PENDAHULUAN

BENIGNA PROSTATE HYPERPLASIA

A. LANDASAN TEORI MEDIS

1. PENGERTIAN

Benigna prostate hyperplasia (BPH) adalah pembesaran jinak kelenjar prostate, disebabkan oleh karena hiperplasi atau semua komponen prostate meliputi jaringan kelenjar/jaringan fibromuskuler yang menyebabkan penyumbatan uretra pars prostatika (lab/UPF Ilmu Bedah RSUD dr. Sutomo, 1994 : 193)

2. ETIOLOGI    

Penyebab terjadinya BPH belum dikietahui secara psti. Prostate merupakan alat tubuh yang bergantung pada endokrin. Oleh karena itu, yang dianggap etiologi adalah karena tidak adanya keseimbangan endokrin. Namun, menurut Syamsu Hidayat dan Wim de Jong tahun 1998, etiologi dari BPH :

Adanya hyperplasia periuertra yang disebabkan karena perubahan keseimbangan testosterone dan estrogen

Ketidakseimbangan endokrin

Factor umur atau lanjut usia

3. PATOFISIOLOGI

Menurut Syamsu Hidayat dan Wim de Jong tahun 1998, umumnya gangguan ini terjadi setelh usia pertengahn akibat perubahan hormonal. Bagian paling dlam prostate membesar dengan terbentuknya adenoma yang tersebar. Pembesaran adenoma menekan jaringan prostate yang normal ke kapsula sejati yang menghasilkn kapsula bedah. Kapsula bedah inimenahan perluasannya dan adenoma cendrung tumbuh ke dalam menuju lumennya yang mnbatasi pengeluaran urin. Akhirnya diperlukan peningkatan penekanan untuk mengosongkan kandung kemih. Serat-serat muskulus dekstrusor berespon hipertropi yang menghasilkan trabekulasi di dalam kandung kemih. Pada beberapa kasus jika obstruksi keluar terlalu hebat, terjadi dekompensasi kandung kemih menjadi struktur yang klasik. Berdilatasi dan sanggup berkontraksi secara efektif. Karena terdapat sisa urin, maka terdapat peningkatan nfeksi dan batu kandung kemih. Peningkatan tekanan balik dapat menyebabkan hipovolemia.

4. MANIFESTASI KLINIK

Gejala dan tanda yang tampak pda pasien BPH:

  1. Retensi urin
  2. Kurangnya atau lemahnya pancaran kencing
  3. Miksi yang tidak puas
  4. Frekuensi kencing bertambah terutama malam hari (nokturia)
  5. Pada malam hari miksi harus mengejan
  6. Terasa panas, nyeri sekitar waktu miksi
  7. Massa pada abdomen bagian bawah
  8. Hematuria
  9. Urgency
  10. Kesulitan mengawali dan mengakhiri miksi
  11. Kolik renal
  12. Berat badan turun
  13. Anemia

5. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK

1. Laboratorium

    Ureum (BUN), Kreatinin, elektrolit, tes sensitivitas dan biakan urin

2. Radiologis

    Intravena pilografi, BNO, sistogram, retrograt, USG, ct scaning, cystoscopy, foto polos abdomen. Indikasi sistogram, retrograt dilakukan apabila fungsi ginjal buruk. USG dapat dilakukan secara trans abdominal atau tran rectal (TRUS=Trans rektel ultra sonografi), selain untuk mengetahui pembesaran prostate USG dapat pula menentukan volume buli-buli, mengukur sisa urin dan keadaan atologi lain seperti difertikel, tumor dan batu.

3. Prostattektomi retro pubis

Pembuatan insisi pada abdomen bawah, tetapi kandung kemih tidak dibuka hanya ditarik dan jaringan adematous prostate diangkat melalui insisi anterior kapsula prostate.

4. Prostattektomi parieneal

Yaitu pembedahan dengan kelenjar perostat dibuang melalui perineum.

6. KOMPLIKASI

a. Retensi kronik dapat menyebabkan refluks vesika-uretra, hidroureter, hidronefrosis, gagal ginjal.

b. Proses kerusakan ginjal dipercepat bila terjadi infeksi pada waktu miksi

c. Hernia atau hemoroid

d. Karena selalu terdapat sisa urin sehingga menyebabkan terbentuknya batu

e. Hematuria

f. Sistitis dan pielonefritis

7. PENATALAKSANAAN

1. Observasi, pegawasan berkala pada pasien setiap 3- 6 bulan kemudian setiap tahun tergantung keadaan klien

2. medikamentosa, terapi ini diindikasikan pada BPH dengan keluhan ringan, sedang dan berat tanpa disertai penyulit. Obat yang digunakan berasal dari phitoterapi (misalnya: hipoxis rosperi, serenoa repens, dan lain-lain ), gelombang alfa blocker dan golongan supresor androgen.

3. pembedahan.

a. klien yang mengalami retensi urin akut/ pernah retensi urin akut.

b. klien dengan residual urin > 100 ml.

c.klien dengan penyakit

d. terapi medikamentosa tidak berhasil

e. flowmetri menunjukkan pola obsruktif

f. alternatif lain (misalnya : kriyoterapi, hipertermia,termoterapi, terapi ultrasonik)

 

B.LANDASAN TEORI KEPERAWATAN

1. DASAR DATA PENGKAJIAN

a. Sirkuasi

Tanda : peninggian TD (efek pembearan ginjal)

b. Eliminasi

Gejala:- penurunan kekuatan/ orongan aliran urin, tetesan

  • keragu-raguan pada berkemih awal
  • ketidakmampuan untuk mengosongkan kandung emih dengan lengkap. Dorongan dan frekuensi berkemih.
  • Nokturia, disuria, hematuria
  • Duduk untuk berkemih
  • Isk berulang, riwayat batu (stasis urinaria)
  • Konstipasi(protrusi prostat kedalam rektum)

Tanda:- massa padat dibawah abdomen(distensi kandung kemih), nyeri tekan kandung kemih.

  • hernia inguinalis ; hemoroid (mengakibatkan peningkatan tekanan abominal yang meerlukan pengosongan kandung kemih mengatasi tahanan)

c. makanan/ cairan

gejala: – anoreksia, mual, muntah

– penurunan berat badan

d.Nyeri/kenyamanan

gejala : – nyeri suprapubis, panggul atau punggung; tajam kuat (pada prostatitis akut)

  • nyeri punggung bawah

e. keamanan

gejala : demam

f. seksualitas

gejala : – masalah tentang efek kondisi/ terapi kemampuan seksual

  • takut inkontinensia/ menetes selama hubungan intim
  • penurunan kekuatan kontraksi ejakulasi

tanda : pembesaran,nyeri tekan prostat

g. penyuluhan/ pembelajaran

gejala: – riwayat keluarga kanker, hipertensi, penyakit ginjal.

  • penggunaan antihipertensif / antidepresan, antibiotik urinria/ agen antibiotik, obat yang dijal bebas untuk flu/ alergi obat mengandung simpatomimetik.

 

2. DIAGNOSA KEPERAWATAN, INTERVENSI, RASIONAL

1. Retensi Urin b/d obstruksi mekanik, pembesaran prostat.

Hasil yang diharapkan : berkemih dengan jumlah yang cukup, tak teraba distensi kandung kemih.

NO

INTERVENSI

RASIONAL

 

1.

 

2.

 

 

 

3.

 

4

 

 

5.

6.

 

 

7.

 

8.

9.

 

 

10.

 

 

 

 

 


 

Mandiri

Dorong pasien untuk berkemih tiap 2-4 jam dan bila tiba- tiba dirasakan.

Tanyakan pasien tentang inkontinensia stres

 

 

Obsevasi aliran urin, perhatikan ukuran dan kekuatan.

Awasi dan catat waktu dan jumlah tiap berkemih. Perhatikan penurunan haluaran urin dan perubahan berat jenis.

Perkusi/palpasi area suprapubik

Dorong masukan cairan sampai 3000ml/ hari, dalam toleransi jantung, bila diindikasikan.

 

Awasi tanda vital dengan ketat, observasi hipertensi.

Berikan/ dorong kateter lain dan perawatan perineal.

Berikan rendam duduk sesuai indikasi

Kolaborasi:

Berikan obat sesuai indikasi: antispasmodik

  • supositoria rektal
  • antibiotik dan antibakteri
  • fenoksibenzamin
  • kateterisasi
  • monitor BUN, kreatinin, elektrolit


 

 

  1. Meminimlkan retensi urin , distensi berlebihan pada kandung kemih.

     

  2. Tekanan uretra tinggi menghambat pengosongan kandung kemih ata dapat menghambat berkemih sampai tekanan abdominal meningkat cukup untuk mengeluarkan urin secara tidak sadar.

     

  3. Berguna untuk mengevaluasi obstruksi dan pilihan intervensi.

     

  4. Retensi urin meningkatkan tekanan dalam saluran perkemihan atas yang dapat mempengaruhi fungsi ginjal

     

     

  5. Distensi kandug kemih dapat dirasakan di area suprapubik.
  6. Peningkatan cairan mempertahankan perfusi ginjal, membersihkan ginjal dan kandung kemih dari pertumbuhan bakteri.
  7. Kehilangan fungsi ginjal mengakibatkan penurunan eliminasi cairan dan akumulasi toksik.
  8. Menurunkan infeksi infeksi
  9. Meningkatkan relaksasi otot, penurunan edema dan meningkatkan upaya berkemih.

 

  1. Menghilangkan spasme kandung kemih sehubungan dengan iritasi oleh kateter.
  • menghilangkan spasme
  • untuk melawan infeksi
  • mereaksasikan otot polos prostat
  • mencegah retensi urin
  • obstruksi berpotensi merusak fungsi ginjal.

 

2. nyeri b/d distensi kandung kemih

Hasil yang diharapkan: – melaorkan nyeri hilang/ terkontrol

– tampak rileks

– mampu untuk tidur/ istirahat dengan tepat

 

NO

INTERVENSI

RASIONAL

 

1.

 

 

2.

 

3.

4.

 

 

 

5.

6.

7.

 

8.

 

9.

Mandiri

Kaji nyeri, perhatikan lokasi, intensitas lamanya.

 

Plester slang drainase pada paha dan kateter pada abdomen.

Pertahankan tirah baring bila diindikasikan.

Dorong menggunakan rendam duduk,sabun hangat untuk perineum.

 

Kolaborasi:

Masukkan kateter dan dekatkan untuk kelancaran drainase

Lakukan masase prostat

Berikan obat sesuai indikasi: narkotik; demerol

Berikan antibakterial : metenamin hipurat

Berikan anispasmodik contoh: urispas, ditropan

 

  1. Memberikan informasi untuk membent dalm menentukan pilihan/ keefektifan intervensi.
  2. Mencegah penarikan kandung kemih dan erosi pertemuan penis skrotal.
  3. Dapat memperbaiki pola berkemih normal.

 

  1. Meningkatkan relaksasi otot

 

 

  1. Pengaliran kandung kemih menurunkan tegangan dan kepekaan kelenjar
  2. Membantu dalam evakuasi duktus kelenjar untuk menghilangkan inflamasi.
  3. Menghilangkan nyeri berat, memberikan relaksasi.
  4. Menurunkan adanya bakteri
  5. Menghilangkan kepekaan kandung kemih.

 


 

 

3. Resiko kekurangan volume cairan b/d disfungsi ginjal.

Hasil yang diharapkan : – mempertahankan hidrasi adekuat dibuktikan oleh tanda vital stabil, nadi perifer teraba, pengisian kapiler baik dan membran mukosa lembab.

NO

INTERVENSI

RASIONAL

 

1.

 

2.

 

3.

 

 

4

 

 

5.

 

6.

Mandiri:

Awasi keluaran dengan hati- hati , tiap jam bila diindikasikan, 100-200ml/jam

Dorong peningkatan pemasukan oral berdasarkan kebutuhan individu

Awasi tekanan darah,nadi dengan sering.Efaluasi pengisian kapiler dan membran mukosa oral

Tingkatkan tirah baring dengan kepala tinggi

Kolaborasi

Awasi elektrolit,khususnya natrium

 

Berikan cairan IV (garam faal hipertoni) sesuai kebutuhan.

 

Diuresis cepat menyebabkan kekurangan volume cairan

Pasien dibatasi pemasukan oral untuk mengontrol gejala urinaria.

Memampukan deteksi dari/intervensi hipofolimik sistemik

 

Menurunkan kerja jantung,memudahkan homeostasis sirkulasi

 

Akumulasi cairan menyebabkan hiponatremia.

Menggantikan kehilangan cairan dan natrium untuk mencegah/memperbaiki hipovolemia.

 

4.Ketakutan / Ansietes b/d malu/hilang martabat sehubungan dengan pemajanan genetal.

Hasil yang diharapkan:     

– Pasien tampak rileks

– Menyatakan pengetahuan yang akurat tentang situasi

– Menunjukan rentang tepat tentang perasaan dan penurunan rasa takut

– Melaporkan amsitas menurun sampai tingkat dapat di tangani

NO

INTERVENSI

RASIONAL

 

1.

 

2.

 

 

 

3.

 

 

4.

 

 

5.

Mandiri

Selalu ada untuk pasien,buat hubungan saling percaya dengan pasiea

Berikan informasi tentang prsedur dan tes khusus dan apa yang akan terjadi Contoh : Kateter

Pertahankan prilaku nyata dalam melakukan prosedur.lindungi prifasi

Dorong pasien/orang terdekat untuk menyatakan masalah/perasan

Beri penguatan informasi pasien yang telah diberikan sebelumnya

 

Menunjukan perhatian tetang keinginan untuk membantu.

Membantu pasien memahami tujuan dari apa yang dilakukan

 

Menghilangkan rasa malu pasien

 

Mendefenisikan masalah ,memberikan kesempatan untuk menjawab pertanyaan

Memungjinkan pasien untuk menguatkan kepercayaan pada perawat

 

5. Kurang pengetahuan tentang kondisi dan kebutuhan pengobatan b/d salah inter pretasi informasi.

Hasil yang diharapkan :

  • Menyatakan pemahaman proses peyakit
  • Mengindentifikasi hubungan tanda/gejala proses penyakit
  • Melakukan perubahan pola hidup
  • Berpatisipasi dalam program pengobatan.

 

NO.

INTERVENSI

RASIONAL

 

1.

2.

 

3.

 

4.

 

5.

 

6.

 

7.

Mandiri

Kaji ulang proses penyakit

Dorong menyatakan rasa takut/perasaan dan perhatian

Berikan informasi bahwa kondisi tidak tularkan secara seksual

Anjurkan menghindari makanan berbumbu,kopi,alkohol

Berikan informasi tentang anatomi dasar seksual

Kaji tanda/gejala yang memerlukan evaluasi medik

Diskusikan perlunya pemberitahuan pada perawat kesehatan lain tentng diagnosa

 

Memberikan pengetahuan pada pasien

Membantu pasien untuk rehabilitasi vital

 

Mungkin merupakan ketakutan pasien

 

Dapat menyebabkan iritasi prostat dengan masalah kongesti

Membantu pasien memahami implikasinya

Intervensi cepat mencegah komplikasi lebih serius

Menurungkan resiko terapi tak tepat

 


 

 


 

MERAWAT LUKA BAKAR DENGAN TEKHNIK BASAH

A. Pengertian

Perawatan pasien luka bakar dengan teknik basah adalah suatu tindakan keperawatan membersihkan luka sehingga dapat membantu proses penyembuhan luka dengan menggunakan balutan basah.

B.Tujuan

  • Mempercepat absorbsi obat
  • Mencegah atau mengobati syok
  • Mencegah dan mengobati infeksi dan sepsis
  • Mencegah parut hipertropik
  • Mempercepat proses penyembuhan
  • Memperbaiki bagian integritas kulit yang rusak

C.Indikasi :

Dilakukan pada luka bakar derajat I, II dan III

D.Persiapan pasien :

Pasien diberitahu mengenai prosedur yang akan dilaksanakan beserta tujuannya

E.Persiapan alat :

Instrument tray w/cover berisi :

  • Hanscone steril
  • Pinset chirurgis
  • Kasa steril
  • Pembalut steril

    Baki berisi :

  • Bengkok
  • Zeil dan pengalas
  • Korentang
  • Gunting
  • plester
  • Bethadin sol 20%
  • Larutan pembersih (savlon 1%)
  • Cairan NaCL 0,9%
  • Salep silver sulfadiazine (SSD)

F.Cara kerja :

  1. Alat-alat disiapkan
  2. Identifikasi pasien
  3. Jelaskan tindakan yang akan dilakukan
  4. Cuci tangan
  5. Memasang perlak dan alasnya
  6. Gunakan handscone
  7. Cuci/bersihkan luka dengan cairan sovlon 1%
  8. Bersihkan dari pusat luka ke daerah perifer
  9. Jika banyak pus bersihkan dengan bethadin sol 2%
  10. Pehatikan ekspresi wajah dan KU pasien selama merawat luka
  11. Bilas luka dengan sovlon 1% dengan menggunakan cairan NaCL 0,9%
  12. Biarkan luka tetap basah
  13. Beri slep silfer sulvadiazen pada seluruh daerah luka bakar dalam keadaan tetap basah
  14. Alat-alat kesehatan dibereskan, perawat mencuci tngan
  15. Biarkan luka tetap basah
  16. Membersihkan alat-alat dan rapikan pasien
  17. Cuci tangan
  18. Dokkumentasi

G.Sikap :

  • Bekerja sistematis
  • Hati-hati dalam bekerja
  • Mempertahankan prinsip kerja
  • Kerjasama
  • Tangga terhadap respon

H. Perhatian :

  • Cermat dalam menjaga kesterillan
  • Mengangkat jaringan nekrosis sampai bersih
  • Peka terhadap privasi pasien
  • Teknik pengangkatan jaringan nekrosis disesuikan dengan tipe luka bakar
  • Perhatikan teknik aseptik
  • Penggunaan cairan pencuci yang tepat karena cairan pencuci yang tidak tepat akan menghambat pertumbuhan jaringan sehingga memperlama waktu rawat dan meningkatkan biaya perawatan.

Sumber : Pedoman Praktek Klinik Keperawatan (M.A Kep Meternitas, anak dan KMB III) program siploma III Kep Rumkit TK III Dr. J A Latumeten. Thn 2007/2008


PERAWATAN LUKA BAKAR DENGAN TEKHNIK KERING

A.     Pengertian

Perawatan dengan teknik kering adalah suatu tindakan keperawatan membersihkan luka sehingga dapat membantu proses menyembuhan luka dengan menggunakan balutan kering.

 

B.     Tujuan

1.     Mencegah atau mengobati syok

2.     Mencegah dan mengobati infeksi dan sepsis

3.    Mencegah parut hipertropik

4.    Mempercepat proses penyembuhan

5.    Memperbaiki bagian integritas kulit yang rusak

 

 

C.     Dilakukan pada/ Indikasi

1.    Luka bakar derajat 1

2.    Luka bakar derajat 2

3.    Luka bakar derajat 3

 


D. Persiapan alat dan bahan

1.     Baki steril berisi :

    – Sarung tangan steril

    – Pinset sirurgis

    – Kasa steril

    – Gunting

    – Pembalut steril

 

2.    Baki tidak steril berisi :

    – Bengkok

    – Perlak dan alasnya

    – Cairan NaCl 0, 9%

    – Cairan salvon 1%, peak nitrat 0, 5%

    – Silet atau alat cukur

    – Sarung tangan bersih

    – Salep Silver Sulfa Diazine ( SSD )

    – Salep antibiotic

    – Gunting verban

    – Korentang dalam tempatnya

    – Plester

 

E.     Prosedur pelaksanaan

 

  1. Beritahu pasien
  2. Membawa alat-alat kedekat pasien
  3. Cuci tangan
  4. Memasang perlak dan alsnya dibawah daerah luka bakar
  5. Memakai sarung tangan tidak steril
  6. Melepaskan balutan dengan menggunakan pinset
  7. Membuka sarung tangan
  8. Memakai sarung tangan steril
  9. Bersihkan luka dengan NaCl 0, 9% dan metronidazol 0, 1% secara sentrifugal
  10. Luka dikeringkan dengan kasa steril
  11. Berikan salep SSD setebal 0, 5 cc pada seluruh daerah luka bakar
  12. Luka dibalut kemudian di fiksasi dengan plester
  13. Membuka sarung tangan
  14. Rapikan pasien
  15. Rapikan alat-alat dan kembalikan ketempatnya
  16. Cuci Tangan
  17. Dokumentasi

    

F.     Perhatian

 

1.    Cermat dalam menjaga kesterillan

2.    Mengangkat jaringan nekrosis sampai bersih

3.     Peka terhadap privasi pasien

4.    Teknik pengangkatan jaringan nekrosis disesuikan dengan tipe luka bakar

5.    Perhatikan teknik aseptik

 

G.    Sikap

 

  1. Bekerja secara sistimatis
  2. Hati-hati dalam bekerja
  3. Berkomonikasi dengan pendekatan yang tepat dan sesui dengan kondisi pasien
  4. Pempertahankan prinsip kerja
  5. Kerjasama antara pasien dan perawat selalu dijaga
  6. Tanggap terhadap respons

7.    Menjaga privasi

 

 

 

 

 

 

 


 

PERAWATAN LUKA BAKAR TERINFEKSI

A.     Pengertian

Perawatan pasien luka bakar yang terinfeksi adalah suatu tindakan keperawatan membersihkan luka yang terinfeksi sehingga dapat membantu proses penyembuhan.

 

B.     Tujuan

1.     Mencegah atau mengobati syok

2.     Mencegah dan mengobati infeksi dan sepsis

3.    Mencegah parut hipertropik

4.    Mempercepat proses penyembuhan

5.    Memperbaiki bagian integritas kulit yang rusak

 

 

C.     Dilakukan pada/ Indikasi

1.    Luka bakar derajat I ( Infeksi )

2.    Luka bakar derajat II ( Infeksi )

3.    Luka bakar derajat III ( Infeksi )

 

 

D.     Persiapan alat dan bahan

1.     Baki steril berisi :

    – Sarung tangan steril

    – Pinset sirurgis

    – Kasa steril

    – Gunting

    – Spuit 5 cc

    

 

2.    Baki tidak steril berisi :

    – Bengkok

    – Perlak dan alasnya

    – Cairan NaCl 0, 9%

    – Cairan salvon 1%

    – Silet atau alat cukur

    – Sarung tangan tidak steril

    – Salep Silver Sulfa Diazine ( SSD )

    – Salep antibiotic

    – Gunting verban

    – Korentang dalam tempatnya

    – Plester

    – Betadin sol 2%

 

 

E.     Prosedur pelaksanaan

 

  1. Beritahu pasien
  2. Membawa alat-alat kedekat pasien
  3. Cuci tangan
  4. Memasang perlak dan alsnya dibawah daerah luka bakar
  5. Memakai sarung tangan tidak steril
  6. Membersihkan luka dengan cairan salvon 1%
  7. Cukur rambut pada daerah sekitar luka bakar
  8. Bersihkan luka dengan meggunakan caiaran salvon 1%
  9. Membuka sarung tangan tidak steril dan memakai sarung tangan steril
  10. Lakukan nekrotomi atau debridemen jaringan nekrosis dengan menggunakan pinset dan gunting
  11. Apabila ada bula dibiarkan utuh sampai hari ke lima post luka bakar
  12. Apabila bula pada daerah sendi dipecahkan dengan spuit steril kemudian lakukan nekrotomi
  13. Jika banyak post bersihkan dengan betadin sol 2%
  14. Bilas dengan cairan NaCl 0, 9%
  15. Luka dikeringkan dengan kasa steril
  16. Oleskan salep antibiotic pada luka secara merata
  17. Tutup dengan kasa steril kemudian di fiksasi dengan plester ( perwatan tertutup atau biarkan terbuka )
  18. Membuka sarung tangan
  19. Rapikan pasien
  20. Rapikan alat-alat dan kembalikan ketempatnya
  21. Cuci Tangan
  22. Dokumentasi

 

 

 

 

F.     Perhatian

 

1.    Cermat dalam menjaga kesterillan

2.    Mengangkat jaringan nekrosis sampai bersih

3.     Peka terhadap privasi pasien

4.    Teknik pengangkatan jaringan nekrosis disesuaikan dengan tipe luka bakar

5.    Perhatikan teknik aseptik

    
 

    

G.    Sikap

 

  1. Bekerja secara sistimatis
  2. Hati-hati dalam bekerja
  3. Berkomonikasi dengan pendekatan yang tepat dan sesui dengan kondisi pasien
  4. Pempertahankan prinsip kerja
  5. Kerjasama antara pasien dan perawat selalu dijaga
  6. Tanggap terhadap respons

7.    Menjaga privasi    

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

ANTIMIKROBA

1. Pendahuluan

 

Antimikroba (AM) ialah obat pembasmi mikroba, khususnya mikroba yang merugikan manusia (kesehatan): mikroba yang dimaksud disini adalah jasad renik dan tidak termaksud kelompok parasit.

 

Antibiotik adalah zat yang dihasilkan oleh suatu mikroba, terutama fungsi yang dapat menghambat atau membasmi mikroba lain. Dewasa ini banyak antibiotika dibuat secara semisinyesis atau sintetik penuh.

Dalam praktek sehari-hari AM sintetik yang tidak diturunkan dari produk mikroba (misalnya sulfonamida dan kuinolin), juga sering digolongkan sebagai antibiotik. Obat antimikroba harus memiliki toksisitas AM selektif tinggi mungkin, artinya obat tersebut bersifat sangat toksis untuk mikroba, tetapi relatif tidak toksis terhadap hospes.

 

  1. Aktivitas dan spektrum AM

    Berdasarkan toksisitas selektif, ada AM yang bersifat menghambat pertumbuhan mikroba, dikenal sebagai aktivitas bakteriostatik dan ada yang bersifat membunih mikroba, dikenal sebagai bakterisid.

    Sifat AM dapat berbeda satu dengan yang lainnya;misalnya penisilin G bersifat aktif terutama terhadap bakteri gram positif, sedangkan bakteri gram negatif tidak efektif. Streptomisin memiliki sifat yang sebaliknya; tetrasiklin aktif terhadap beberapa bakteri gram (+) maupun gram (-). Berdasarkan perbedaan sifat ini, AM dibagi menjadi:

     

    1. berspektrum sempit (Narrow-spektrum) adalah AM yang efektif terhadap mikroba gram (+) atau gram (-), misalnya penisilin dan streptomisin
    2. berspektrum luas (broad spektrum) adalah AM yang efektif terhadap mikroba gram (+) dan gram (-) misalnya tetrasiklin dan kloramfenikol

     

    batas antara kedua jenis spektrum ini kadang tidak jelas. Walaupun satu AM berspektrum luas, efektifitas klinisnya belum tentu seluas spektrumnya, sebab aktifitas maksimal diperoleh dengan menggunakan obat terpilih untuk infeksi yang sedang dihadapi terlepas dari efeknya terhadap mikroba lain.

     

  2. Mekanisme kerja anti mikroba

    Berdasarkan mekanisme kerjanya antimikroba dibagi menjadi lima kelompok:

     

  • Mekanisme kerja: penghambat metabolisme sel mikroba. Aktivitas: bakteriostatik: menghambat sintesa asam folat yang diperlukan untuk kehidupan mikroba, am: sulfonamida, trimetoprin, pas, sulfon.
  • Mekanisme kerja: penghambat sintesis dinding sel mikroba, aktivitas: bakteriostatik-bakterisid menghambat enzim untuk suntesis dinding sel, menyebabkan kerusakan dinding sel (lisis),am: penisilin, sefalosporin, basitrasin, vankomisin, sikloserin.
  • Mekanisme kerja: mengganggu keutuhan membran sel mikroba, aktivitas: bakteriostatik-bakterisid merusak membran sel mekanisme kerja: mengganggu keutuhan membran sel mikroba, aktivitas: bakteriostatik-bakterisid merusak membran sel bereaksi dengan zat yang terdapat pada membran sel (meningkatkan permeabilitas membran sel),am: polomiksin, nistatin, amfotrisin b, surface aktive agent.
  • Mekanisme kerja: menghambat sintesa protein mikroba,aktivitas: bakteriostatik-bakterisid menghambat tahapan sintesa protein dalam tubuh mikroba, am: linkomisin, tetrasiklin, kloramfenikol,gol aminoglikosid
  • Mekanisme kerja: menghambat sintesa asam nukleat sel mikroba, aktivitas: bakteriostatik-bakterisid berikatan dengan enzim polimerase-dna/rna, dgen dmk menghambat pembentukan rna/dna, am: rifampisin, gol.kuinolon

 

Resistensi

resistensi mikroba adalah suatu fenomena tidak terganggu kehidupan sel mikroba oleh antimikroba. Dikenal beberapa jenis resistensi, yaitu:

  1. resistensi bawaan (primer) terjadi secara ilmiah misalnya adanya enzim penisilinase yang diprouksi mikroba, menyebabkan mikroba resisten terhadap penisilin
  2. resistensi yang didapat/diperoleh (sekunder) disebabkan kontak bakteri dengan obat AM; disini terjadi mutasi yang menyebabkan timbulnya mutan yang menghasilkan generasi baru yang resisten
  3. resistensi silang, mikroba resisten terhadap satu antimikroba dan resisten pula terhadap semua derivatnya (turunnya segolongan), misalnya penisilin dengan ampisilin dan amoksilin

Efek Samping

Efek samping penggunaan AM dapat dikelompokan atas reaksi alergi, reaksi idionsikrasi, reaksi toksik dan perubahan biologik dan metabolik pada hospes

Rx alergik, dapat ditimbulkan oleh semua AM/antibiotik dengan melibatkan sistem imun tubuh hospes dan terjadi tidak tergantung pada besarnya dosis obat. Reaksi alergi sukar diramalkan dan seseorang yang pernah mengalami reaksi alergik misalnya dengan penisilin,tidak selalu mengalami reaksi kembali ketikadiberikan obat yang sama. Sebaliknya, orang tanpa riwayat alergi dapat mengalami reaksi alergi pada penggunaan ulang penisilin.

  • Rx idiosinkrasi, gejala fenomena ini merupakan reaksi abnormal yang diturunkan secara genetik terhadap pemberian AM tertentu. Istilah ini sudah jarang dipakai dan kemungkinan merupakan reaksi alergi utama untuk produk tertentu
  • Reaksi toksik, efek pada hospes dapat ditimbulkan oleh semua jenis AM dan mungkin dapat dianggap relatif tidak toksis ialah golongan ampisilin. AM golongan lain, misalnya antibiotika golongan aminoglikosida, misalnya streptomisin (obat suntik untuk TBC) pada umumnya bersifat toksis terutama terhadap saraf, sedangkan golongan tetrasiklin, mengganggu pertumbuhan jaringan tulang, termaksud gigi akibat pembentukan kompleks tetrasiklin-CA-ortofosfat.
  • Perubahan biologik dan metabolik, pada tubuh hosprs, baik yang sehat maupun yang menderita infeksi terhadap populasi mikroflora normal. Penggunaan AM terutama yang berspektrum luas dapat mengganggu keseimbangan ekologi mikroflora sehingga jenis mikroba yang meningkat jumlah populasinya dapat menjadi patogen. Gangguan keseimbangan ekologi ini dapat terjadi di saluran cerna, saluran nafas, kelamin dan kulit. Pada beberapa keadaan perubahan ini dapat menimbulkan superinfeksi, yaitu suatu infeksi baru yang terjadi akibat terapi infeksi primer dengan suatu AM. Mikroba penyebab superinfeksi biasanya jenis mikroba yang menjadi dominan pertumbuhannya akibat penggunaan AM, umpamanya penyakit Kandidiasis sering timbul akibat penggunaan antibiotik berspektrim lebar. Makin lebar spektrum AM. Maikin besar kemungkinan suatu jenis mikroba tertentu menjadi dominan. Tindakan yang perlu diambil untuk mengatasi superinfeksi adalah:1. menghentikan terap dengan AM yabg sedang digunakan,2. melakukan biakan mikrob penyebab superinfeksi dan 3. memberikan suatu AM yang efektif terhadap mikroba penyebab superinfeksi.

 

  • Penggunaan dalam klinis

    Antomikroba dapat dikatan bukan merupakan “obat penyembuh” penyakit infeksi, tetapi am hanya menyingkatkan waktu yang diperlukan tubuh hospes untuk sembuh dari suatu penyakit infeksi. Dengan adanya infasi kikroba, tubuh hospes akan bereaksi dengan mengaktifkan mekanisme daya tahan tubuhnya. Sebagian besar infeksi terjadi pada hospes dapat sembuh dengan sendirinya tanpa memerlikan am.

    Gangguan klinis infeksi terjadi akibat. Gangguan langsung oleh mikroba maupun oleh berbagai zat toksis yang dihasilkan mikroba. Nila mekanisme pertahanan tubuh berhasil,mikroba dan zat toksis yang dihasilkan akan dapat disingkirkan. Dalam hal ini tidak diperlikan pemberian AM untuk penyembuhan penyakit infeksi.

    Gejala demam yang merupakan salah satu gejala sistemik penyakit infeksi, tidak merupakan indikator yang kuat untuk pemberian antimikroba, karena demam dapat disebabkan oleh penyakit infeksi oleh virus atau penyakit noninfeksi, dengan sendirinya bukan indikasi pemberian antimikroba.

     

    Obabt-obat antimikroba

     

    SULFONAMIDA dAN KOTRIMOKSASOL

    Sulfonamida adalah kemoterapik yang pertama digunakan secara sisitemik untuk penghambat dan pencegahan penyakit infeksi pada manusia. Penggunaanya kemidian terdesak oleh antimikroba.

    Pertengahan tahub 1970 penemuan sediaan kombinasi trimetoprin dan sulfametoksazol meningkatkan kembali penggunaan sulfonamida untuk pengobatan penyakit infeksi tertentu

     

    SULFONAMIDA

    Sulfonamida mempunyai spektrum anti bakteri yang luas meskipun kurang kuat dibandingkan antibiotik dan disamping itu mikroba yag resisiten terhadap sulfonamida cukup banyak. Golongan obat ini umumnya bersifat bakteriostatik namun pada dosis yang tinggi dalam urine, sulfonamida dapat bersifat baktersid sehingga dapat dipilih untuk terapi infeksi saluran kemih

    Obat-obat golongan sulfonamida yang biasanya digunakan dalam klinis adalh: sulfadiazin, sulfaisoksazol, sulfametaksazol, ftalilsulfatiazol, sulfanilamid (topikal), Ag-sulfadiazin (topikal), sulfasetin, sulfametizol, kombinasi sulfa = Trisulfa (sulfadiazin+sulfamerazin+sulfametazin)

     

    KOTRIMOKSAZOL (Baktrim, Septrin)

    Kotrimeksazol adalah suatu kombinasi antara trimetoprin dan sulfametoksazolo, menghambat reaksi enzimatik bakteri sehingga kombinasi kedua obat ini memberikan efek sinergis. Penemuan sediaan kombinasi ini merupakan kemajuan penting dalam usaha mrningkatkan aktivitas klinis anti mikroba. Kombinasi ini terdiri dari sulfametoksazol 400 mgr dan trimetoprin 80 mgr

    Kotrimoksazol sama efektifnya dengan ampisilin pada tifus perut, infeksi saluran pernapasan bagian atas, radang paru-paru (pada pasien AIDS) serta penyakit kelamin gonore. Secara rektal (suposutoria) sulfonamida tidak digunakan karena resorpsinya tidak sempurna (antara 10-70%) dan kurang teratur

    Kotrimoksazol tidak boleh diberikan pada bayi dibawah usia 6 bilan berhubung resiko efek-efek sampingnya. Semua sulfonamida tidak boleh diberokan pada penderita gangguan fungsi hati dan ginjal. Kotrimoksazol lebih jarang menimbulkan resistensi, sehingga banyak digunakan untuk berbagai penyakit infeksi, antara lain pada infeksi saliran kemih (coli, entobakter), alat kelamin (prostatitis), saluran cerna (salmonellosis), dan pernapasan (bronkhitis), kotrimoksazolo juga digunakan untuk pengobatan intk pengobatan dan pencegahan radabg paru-paru (pneumolcytis carinii-neomoni) dari penderita AIDS (dalam dosis tinggi). Penggunaan lebih dari dua minggu hendknya disertai pengawasan darah. Risiko kristaluria dapat dihindarkan dengan minum lebih dari 1.5 liter air sehari.

    Dosis: umum 2 dd 2 tablet kotrimoksazol (=sulfamektosazol 400+ trimetoprin 80 mg). Radang kandung kemih tanpa komplikasi pada wanita: 2 dd 2 tablet selam 3-7 hari pada tifus dan infeksi parah: 2 dd 3 tablet selama maksimum 14 hari.

    TRISULFA

    Trisulfa adalah kombinasi dari tiga sulfonamida biasanya sulfadiazin, silfamerazin dan sulfamezathin dalam perbandingan yang sama. Karena dosis setiap obat hanya sepertiga dari obat biasa dan daya larutnya masing-masing tidak saling dipengaruhi, maka bahaya kristaluria sangat diperkecil, cukup dengan minum lebih dari 1,5 liter air sehari selama pengobatan.

    TAB. FANSIDAR

    Fansidar adalah kombinasi sulfadoksin+pirimetamin. Fansidar dugunakan sabai profilaksis dan pengobatan malaria tropika, yang disebabkan oleh plasmodium falciparum yang resisten terhadap kloroquin.

    Zat ini khusus digunakan dalam kombinasi dengan obat antiprotozoapirimetamin pada terapi dan prokfilaksis malaria tropika yang resisten terhadap kloroquin

    Wanita hamil tidak boleh diberi fansidar selama tiga bulan pertama kehamilannya karena bersifat teratogen dan pada bulan terakhir kehamilannya berhubung resiko akan icterusinti pada bayi

    Dosis: sevbagai kurativum pada serangan akut malaria diatas :* 13 tahun : aral single-dose 3 tablet p.c.;* anak-anak 9-13 tahun: 2 tablet; * 5-8 tahun: 1 tablet dan :* 1-4 tahun: ½ tablet. Sebagai pencegahan kausal “luar” (diatas 15 tahun) 1xseminggu 1 tablet;* orang semi-imun 2-3 tablet setiap 4 minggu.

    INFEKSI SALURAN KEMIH

    Sulfametizol, sulfafurazol dan kotimoksazol sering digunakan sebagai desinfektan gangguan saluran kemih bagian atas yang menahun. Zat ini juga dipakai untuk mengobati cystitis.

    INFEKSI MATA


    Sulfasetamida, sulfadikramida, dan sulfametizol digunakan topikal terhadap infeksi mata yang disebabkan oleh kuman-kuman yang peka terhadap sulfonamida, secara sistemis, zay ini juga dipakai untuk penyakit mata berbahaya trachoma , yang merupakan sebab utama dari kebutaan di dunia ketiga.

    RADANG OTAK (MENINGITIS)

    Berkat daya penetrasinya yang baik ke dalam CCS, obat-obat sulfa sanpai beberapa tahunlalu dianggap sebagai obat terbaik untuk mengobati atau mencegah meningitis terutama sulfadiazin. Timbulnya banyak resistensi dengan pesat menyebabkan obay ini telah diganti dengan ampisilin atau rimpafisin.

    PENISILIN DAN SEFALOSPORIN

    PENISILIN dan DERIVATNYA

    Aktivitas:

    Penisilin G dan turunannya bersifat bakterisid terhadap terutama kuman Gram- positif khususnya cocci dan hanya beberapa kuman Garam negatif. Penisilikn termaksud antibiotika spektrum sempit begitu pula penisilin-V dan analognya. Ampisilin dan turunannya serta sefalosporin memiliki spektrum kerja lebih luas, yang meliputi banyak kuman Gram negatif, antara lain H. Infulenzae, E. Coli, dan P.mirabilis.
    beberapa sefalosporin bahkan aktif terhadap kuman “sulit” Pseudomonas

    Sebagaimana telah diutarakan antibiotika nakterisid ini tidak dapat dikombinasikan dengan bakteriostatika seperti tetrasiklin, kloramfenikol, eritromisin dan asam fusidat. Ini karena zat-zat yang disebutkan terakhir menghambat pertumbuhan sel dan dindingnya. Kombinasi dengan sulfonamida adalah pengecualiannya.

    Wanita hamil dan laktasi

    Semua penisilin dianggap aman bagi wanita hamil dan yang menyusui, walaupun dalam jumlah kecil terdapat dalam darah janin dan air susu ibu.

    Jenis penisilin dan derivatnya

    Ampisilin: Penbritin, ultrapen, binotal

    Penisilin broad-spektrum ini (1961)tahan asam dan lebih luas spektrum kerjanya, yang meliputi banyak kuman Gram-negatif yang hanya peka bagi pen-G dalam dosis i.v tinggi sekali. Misalnya E. Coli, H. Infulenzae, Salmonela, dan beberapa suku proteus

    Obat ini banyak digunakan untuk mengatasi infeksi, antara lain dari saluran pernafasan (bronkhitis kronis) saluran cerna dan saluran kemih, kuping (otitis media), gonore, kulit dan bagian lunak (otot dan sebagainya)

    Resorpsinya: dari usus 30-40% (dikurangi oleh makanan). Penetrasinya ke CCS ringan, namun ternyata dalam dosisi tinggi efektif pada meningitis. Ekskresinya berlangsung sebagian besar lewat ginjal, yaitu 30-45% dalam keadaan utuh aktif dan sisanya sebagi metabolit.

    Efek samping: debandingkan penisilin lain ampisin menimbulkan lebih sering gangguan lambung usus, yang mungkin ada hubungan dengan penyerapannya yang kurang baik.

    Dosis: oral 4x sehari 0.5-1 g, a.c, saluran kemih: 3-4 dd 0.5 g, gonorra: 1×3.5 g+probenesid 1 g, tifus/paratifus: 4 dd 1-2 selama 2 minggu. Juga rektal dan secara i.m dan i.v

     

    Amoksilin
    (Amoxilin, Flemoxin, Hiconcil, Augmentin)

    Aktifitas sama dengan ampisilin. Resorpsinya lebih lengkap (ca 80%) dan pesat dengan kadar darah dua kali lipat. PP dan plasma-t ½-nya lebih kurang sama, tetapi difusinya ke jaringan tubuh lebih baik, antara lain ke dalam air liur pasien bronkhitis kronis. Begitu pula kadar bentuk aktifnya dalam kemih jauh lebih tinggi dari pada ampisilin (ca 70%) hingga lebih layak digunakan pada infeksi saluran kemih

    Efek samping: gangguan lambung usus dan rash lebih jarang terjadi

    Dosis:oral 3 dd 375-1000 mg, anak-anak,10 tahun 3dd 10 mg/kg, 3-10 tahun 3 dd 250 mg, 1-3 tahun 3 dd 125 mg, 0-1 tahun 3 dd 100 mg. Juga diberikan secara i.m/i.v

    Sefalosporin

    Termaksud antibiotika beta-laktam dengan struktur, khasiat dan sifat yang banyak mirip penisilin. Spektrum kerjanya luas dan meliputi banyak kuman Gram-positif dan Gram-negatif, termaksud E. Coli, Klebsiella, dan Proteus. Berkhasiat bakterisid dalam fase pertumbuhan kuman.

    Penggolongan

    Menurut khasiat antimikroba dan resistensinya terhadap beta-laktase, sefalosporin lazimnya digolongkan sebagai berikut,

  1. generasi ke-1:
    sefalotin dan sefazolin, sefradin, sefaleksin dan sefadroksil. Zat-zat ini terutama aktif terhadap cocci Gram-positif, tidak berdaya terhadap gono-cocci, H.Infulenzae, Bakteriodes, dan Pseudomonas. Pada umumnya tidak tahan terhadap laktamase.
  2. Generasi ke-2: sefaklor, sefamandol, sefmetazol, dan sefuroksin lebih aktif terhadap kuman Gram-negatif, termaksud H. Infulenzae, proteus, klebsiella, gono-cocci dan kuman-kuman yang resisten untuk amoksilin. Obat0obat ini agak kuat tahan-laktase. Khasiatnya terhadap kuman Gram-positif (staf, dan strep) lebih kurang sama.
  3. Generasi ke-3 sefoperazon, sefotaksim, seftixoksim, seftriakson, sefotiam, sefiksin, dan sefprozil. Aktivitasnya terhadap kuman Gram-negatif lebih kuat dan lebih luas lagi meliputi Pseudomonas dan Bakteroides, khususnya seftazidin, sefsulodin, dan sefepin. Resistensinya terhadap laktamase juga lebih kuat, tetapai khasiatnya terhadap stafilokok jauh lebih ringan
  4. Generasi ke-4 sefepin dan sefpiron. Obat-obat baru ini (1993) sangat resisten terhadap laktamase dan isefepim, juga aktif sekali terhadap Pseodomonas.

    Penggunaannya

    Sebagian besar dari sefalosporin perlu diberikan parenteral,terutama digunakan di rumah sakit

    zat-zat gen-1 sering digunakan per oral pada infeksi saluran kemih ringan, dan sebagai obat pilihan kedua pada infeksi pernafasan dan kulit yang tidak begitu serius dan bila terdapat alergi untuk penisilin.

    Zat-zat gen 2/3 digunakan parenteral pada infeksi serius yang resisten untuk amoksilin dan sefalosporin gen-1 juga profilaksis pada bedah jantung, usus, ginokologi dll. Sefotoksitin dan sefuroksin (gen-2) digunakan pada gonore (kencing nanah) akibat gonokok yang menbentuk laktamase.

    Zat-zat gen-3
    seftriakson dan seoataksim kini sering diaanggap sebagai obat pilihan pertama untuk gonora. Sefoksitin pada infeksi bakteriodes fragilis.

    Kinetik

    Resorpsi obat oral dari usus berlangsung praktis lengkap dan cepat. Distribusinya ke jaringan dan cairan tubuh baik, tetapi penetrasi ke otak, mata dan CCS buruk kecuali sefataksim. Eksresinya dari kebanyakan sefalosporin melalui kemih praktis lengkap.

    Efek samping

    Pada umumnya dengan kelompok penisilin, tetapi lebih ringan. Obat-obat oral dapat menimbulkan terutama gangguan lambang usus (diere, nausea, dan sebagainya), jarang sekali juga reaksi alergi (rash, urticaria)

    Resistensi dapat timbul dengan cepat maka antibiotika ini sebaiknya jangan digunakan sembarangan dan dicadangkan untuk infeksi berat. Resistensi silang dengan penisilin pun dapat terjadi.

    Kehamilan dan laktasi

    Sefalosporin dapat dengan mudah melintasi plasenta, tetapi kadarnya dalam darah janin lebih rendah daripada ibunya, sefalotin dan sefaleksin telah digunakan selama kehamilan tenpa adanya laporan efek buruk bagi bayi

     

     

     

     

    TETRASIKLIN DAN KLORAMFENIKOL

    TETRASIKLIN

    Kimia

    Semua tetrasiklin berwarna kuning. Kapsul yang disimpan ditempat panas dan lembab mudah terurai, terutama di bawah pengaruh cahaya. Produk penguraian epi- dan anhidrotetrasiklin bersifat sangat toksis bagi ginjal. Oleh karena itu, suspensi atau kapsul tetrasiklin yang sudah lama tersimpan lama atau sudah berwarna kuning tua sampai coklat tidak boleh diminum lagi.

    Penggunaan

    Berhubungan kegiatan antibakterinya yang laus tetrasiklin lama sekali merupakan obat terpilih untuk banyak infeksi dari bermacam-macam kuman, terutama infeksi campuran. Akan tetapi karena perkembangan resistensi dan efek sampingnya pada penggunaan selama kehamilan dan pada anak kecil, maka dewasa ini hanya dicadangkan untuk infeksi tertentu dan bila terdapat intoleransui bagi antibotika pilihan pertama.

    Digunakan pada infeksi saluran kemih berhubung kadarnya yang tinggi dalam kemih (sampai 60%)

    Adakalanya tetrasiklin digunakan pada malaria bersama kinin. Penggunaan pada disentri basiler, sedangkan disentri akibat amoba tidak dianggap sebagai pilihan pertama.

    Pada infeksi berat dapat diberikan sesara iv atau im. Secara topikal digunakan sebagi salep kulit 3%, salep mata 1%, dan tetes mata 0.5%

    dosis: infeksi umum 4dd 250-500mg (garam HCL/fosfat) 1 jam a.c atau 2 jam p.c

    infeksi chlamydia: 4 dd 500 mg selama 7 hari, acne 3-4 dd 250 mg selama 1 bulan, setiap minggu dikurangi dengan 250 mg sampai mencapai stabilitas (selama 3-6 bulan)

    bmalariab: 4 dd 250-500 mg selama 7-10 hari dikombinasi dengan kinin. Infeksi H. Pylori: 4 dd 500 mg selama 1-2 minggu atau bersama 2-3 obat lain (multiple therapi), oksitetrasiklin (OTC, terramycin) adalah derifat oksi (1950) dengan sifat dan penggunaan yang sama.

    Dosis: 4 dd 250-500 mg (gram HCL) 1 jam a.c atau 2 jam p.c

    Efek samping

    Pada penggunaan oral sering terjadi gangguan lamnbung, usus (mual, muntah, disare dan sebagainya) . penyaebabnya ialah rangsangan kimiawi terhadap mukosa lambung dan atau perubahan flora usus oleh bagian obat yang tak diserap, terutama pada tetrasiklin. Hal terakhir dapat menimbulkan pula supra infeksi oleh antara lain jamur Candida albicans (dengan gejala mulut dan tenggorokan nyeri, gatal sekitar anus, diare dan sebagainya)

    Efek yang lebih serius adalah sifat penyerapannya pada jaringan tulang dan gigi yang sedang tumbuh pada janin dan anak-anak. Pembentukan kopleks tetrasiklin-kalsiumfosfat dapat menimbulkan gangguan pada struktur kristal dari gigi serta pewarnaan dengan titik-titik kuning cojklat yang lebih mudah berlubang (caries). Efek samping lain adalah fotosinsitas yaitu kulit menjadi peka terhadap cahaya, menjadi kemerah-merahan, gatal-gatal dan sebagainya. Maka selama terapi dengan tetrasiklin, hendaknya jangan terkena sinar matahari yang kuat.

     

     

    Kehamilan

    Karena penghambatan pembentukan tulang yang mengakibatkan tulang menjadi lebuh rapuh dan klasifikasi gigi terpengaruh secara buruk, semua tetrasiklin tidak boleh diberikan setelah bulan ke empat dari kehamilan dan pada anank-anak sampai usia 8 tahun.

    Interaksi

    Tetrasiklin membentuk kompleks tak larut dengan sediaan besi, aluminium, magnesium, dan kalsium hingga resorp[sinya dari usus gagal. Oleh karena itu, tetrasiklin tidak boleh diminum bersamaan dengan makanan (khususnya susu) atau antasida. Doksisiklin dan minosiklin dapat ditelan bersama makanan dan susu.

    KLORAMFENIKOL (kemicetine)

    Didsolasi poertama kali dari sterptomyces Venezuelae. Karena mempunyai daya antibakteri yang luas, maka penggunaan obat ini meluas dengan cepat. Belakangan ini diketahui bahwa side efeknya menyebabkan anemia aplastik yang fatal, karena itu pamakainnya dengansudah dibatasi hanya untuk demam tipoid yang disebabkan oleh Salmonella typhi. Dalam klinis biasanya dipakai kloramfenikol dan tiamfenikol untuk indikasi yang sama.

    Antibiotikum broadspektrum ini berkhasit terhadap hampir semua kuman gram-negatif, juga terhadap spirokhaeta, chlamydia trachomatis dam mycoplasma. Tidak aktif terhadap kebanyakan suku Pseudomonas, Proteus, dan Enterobakter.

    Khasiatnya bersifat bakteriostatik terhadap enterobakter dan Staph aureus berdasarkan perintangan sintesa polipeptida kuman. Kloramfenikol bekerja bakterisid terhadap Str. Pneumonie, Neiss .meningitis dan H. Infulenzae.

    Penggunaannya, berhubung anemia aplastik fatal (lihat efek samping), kloramfenikol di negara barat sejak tahun 1970-an jarang digunakan lagi per oral untuk terapi manusia. Dewasa ini hanya dianjurkan pada beberapa infeksi bila tidak ada kemungkinan lain, yaitu pada infeksi tipus (salmonella typu) dan meningitis (khusus akibat H. infulenzae), juga pada infeksi anaeraob yang sukar dicapai obat, khususnya abces otak oleh B. Fragilis untuk infeksi tersebut juga tersedia antibiotika lain yang lebih aman dengan efektivitas sama.

    Penggunaan topikal. Kloramfenikol digunakan sebagai salep 3% dan tetes/ salep mata 0.2%1% sebagai pilihan kedua. Jika sebagai tetes mata tidak boleh dipakai lebih dari 10 hari.

    Efek samping umum berupa antara lain gangguan lambung-usus, neuropati optis dan tulang (mylodepresi) yang dapat mengakibatkan anemia aplastis.

    Perhatian! Pada pengobatan lama dengan dosis tinggi sebagaimana halnya pada terapi tipus, gambaran darah perlu dimonitor.

    Kehamilan dan laktasi penggunaannya tidak dianjurkan, khususnya selama seminggu-minggu terakhir dari kehamilan, karena dapat menimbulakan cyanosis dan hypothermia pada neonati (‘grey baby sindrome). Berhubung melintasi plasenta dan mencapai air susu ibu, maka tidak boleh diberikan selama laktasi. Larangan tersebut juga berlaku bagi tiamfenikol

    Dosis: pada tifus permulaan 1-2 g (palmitat), lalu 4 dd 500-750 mg p.c. neonati maksimum 25 mg/kg/hari dalam 4 dosis, anak-anak di atas 2 minggu 25-50 mg/kg/hari dalam dosis 2-3 dosis. Pada infeksi parah (meningitis, abces otak) i.v 4 dd 500-1.500 mg (naksusinat)

    Tiamfenikol (urfamycin) adalah derifat p-metilsulfonil (-SO2CH3) dengan spektrum kerja dan sifat yang mirip dengan kloramfenikol, tetapi kegiatannya agak lebih ringan. Ekskresinya lewat kemih dalam kadar tinggi sebagai zat utuh aktif (ca 65%). Didalam empedu, kadar tiamfenikol lebih tinggi dari pada kloramfenikol. Maka digunakan selain pada infeksi tifus dan salmonella p pada infeksi saluran kemih dan saluran empedu oleh kuman resisten untuk antibiotika lain. Toksisnya bagi sumsum tulang dan darah sama dengan kloramfenikol.

    Dosis: tifus perut 4 dd 250-500 mg selama maksimum 8 hari, diatas 60 tahun 2 dd 500 mg, anak-anak 20-30 mg/kg/hari. Gonore 1×2,5 g.

    AMINOGLIKOSIDA

    Saat ini antibiotika aminoglikosida masih mempunyai tempat dalam penanggulangan infeksi berat bakteri gram negatif, walaupun mereka bukan satu-satunya antibiotik yang efektif, sefalosporin generasi ketiga dan beberapa penisilin semisintetik baru, hampir sama efektif dan lebih aman, tetapi harganya terlalu mahal

    Antibikroba yang termaksud aminoglikolisin adalah sebagai berikut:

    Jenis Aminoglikolisid

    Fungus Penghasil

    Streptomisin

    Neomisin (campuran neomisin B&C)

    Fremisetin (neomisin B)

    Kanamisin

    Paromomisin (aminosidin)

    Gentamisin

    Tobramisin

    Amikasin

    Streptomyces friseaus

    Streptomyces friseaus

    Streptomyces lavendule

    s. kanamycetius

    s. rimosus

    micromonospora pupurea

    s. tenebrarius

    Asilasi kanamisin A (semisintetik)

    MAKROLID

    Antibiotika golongan makrolid mempunyai persamaan yaitu terdapat cincin lakton dalam rumus molekulnya. Antibiotik golongan ini dan yang paling banyak digunakan adalah Eritromisin, Spiramisin, Roksitromisin, Linkomisin, Klindamisin, Polimiksin-B, Kolistin Basitrasin dan Vankomisin.

    KUINOLON

    Obat ini tidak tergolong antibiotika tetapi mempunyai daya antimikroba. Pada awal tahun 1980 diperkenalkan golongan kuinolon baru dengan flour terikat pada cincin kuinolon, karena itu dinamakan juga flourokuinolon. Golongan flourofloksasin yang sering digunakan dalam klinik yaitu, Sipofloksasin, Norfloksasin, Ofloksasin, Pefloksasin

    TUBERKULOSTATIK DAN LEPROSTATIK

    Tuberkolosis dan lepra disebabkan oleh bakteri/kukman tahan asam yang sifatnya berbeda dengan kuman lain, yaitu Mycobakterium tubercolosis dan M. Leprae

    Penggolongan infeksi kuman tahan asam merupakan persoalan dan tantangan dalam bidang kemoterpa; resistensi dan efek samping masih merupakan masalah utama dalam pengobatan. Faktor yang mempersulit pengobatan ialah: 1. kurangnya daya tahan hospes 2. kurangnya daya bkterisid obat yang ada 3.timbulnya resistensi kuman terhadap obat 4. masalah efek samping obat.

     

     

    TUBERKOLOSTATIK

    Obat yang digunakan untuk tuberkolostatik dogolongkan atas dua kelompok yaitu 1. kelompok obat primer: isoniasid, rifampisin, etambutol, streptomisin dan pirazinamid. Obat-obat ini memperlihatkan efektivitas yang tinggi dengan toksistas yang dapat diterima dan sebagian besar penderita dapat disembuhkan dengan obat ini. 2 kelompok obat sekunder : Etionamid, PAS (Para Amino Salisilat), Sikloserin, Amikasin, Kanamisin.

    Isoniaasid (=INH, ISONEX)

    Derivat asam isonikotinat ini (1952) berkhasiat tuberkulostatis paling kuat terhadap M. Tuberkolosis (dalam fase istirahat) dan bersifat bakterisid terhadap basil yang sedang tumbuh pesat. Obat ini praktis tidak aktif terhadap bakteri lain. Isoniazida masih tetap merupakan obat kemoterapi terpenting dalam berbagai tipe tuberkulosa dan selalu dalam bentuk multi terapi dengan rimpafisin dan pirazinamida. Untuk profilaksis digunakan sebagai obat tunggal bagi orang-orang yang berhubungan dengan pasien TBC terbuka.

    Efek sampingnya pada dosis normal (200-300 mg sehari) jarang dan ringan (gatal-gatal, ikterus), tetapi lebih sering terjadi bila dosis melebihi 400 mg. Yang terpenting adalah polineuriyis yakni radang saraf dengan gejala kejang dan gangguan penglihatan.


     

ASUHAN KEPERAWATAN MORBUS HANSEN

LAPORAN PENDAHULUAN
LANDASAN TEORI MEDIS
MORBUS HANSEN (KUSTA)
A. Pengertian
 Morbus Hansen adalah penyakit infeksi yang kronis, disebabkan oleh Mikrobakterium leprae yang obligat intra seluler yang menyerang syaraf perifer, kulit, mukosa traktus respiratorik bagian Atas kemudian menyerang organ-organ lain kecuali susunan saraf pusat. (Mansjoer Arif, 2000)
 Kusta adalah penyakit infeksi kronis yang di sebabkan oleh mycobacterium lepra yang interseluler obligat, yang pertama menyerang saraf tepi, selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa mulut, saluran nafas bagian atas, sistem endotelial, mata, otot, tulang, dan testis (djuanda, 4.1997 )
 Kusta adalah penyakit yang menahun dan disebabkan oleh kuman kusta (mikobakterium leprae) yang menyerang syaraf tepi, kulit dan jaringan tubuh lainnya. (Depkes RI, 1998)
B.Penyebab
 Penyebabnya adalah mycobacterium leprae
 Kuman penyebab mycobacterium leprae di temukan oleh GA,Hansen pada tahun 1874 di norwegai.
 Berbentuk basil dengan ukuran 3 – 8 UmX0,5 Um;
 Bersifat gram positif, tahan asam tidak berspora, tidak bergerak dan alcohol.
 Mikobakterium leprae merupakan basil tahan asam (BTA) bersifat obligat intraseluler, menyerang saraf perifer, kulit dan organ lain seperti mukosa saluran nafas bagian atas, hati, sumsum tulang kecuali susunan saraf pusat. Masa membelah diri mikobakterium leprae 12-21 hari dan masa tunasnya antara 40 hari-40 tahun. Kuman kusta berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-8 micro, lebar 0,2-0,5 micro biasanya berkelompok dan ada yang disebar satu-satu, hidup dalam sel dan BTA.
C.Tanda Pasti Dan Derajat Cacat Kusta
A. Tanda pasti kusta adalah:
1. Kulit dengan bercak putih atau kemerahan dengan mati rasa
2. Penebalan dalm saraf tepi di sertai kelainan berupa mati rasa dan kelemahan pada otot tangan, kaki, dan mata
3. Pada pemeriksaan kulit BTA +
Dikatakan menderita kusta apabila di temukan satau atau lebih dari tanda pasi kusta dalam waktu pemeriksaan klinis. ( dirjen PPM & PL, 2003 )

B. Derajat cacat kusta
WHO ( 19995 ) dalam djuanda, A, 1997 membagi cacat kusta menjadi 3 tingkat ke cacatan, yaitu :
1. Cacat pada tangan dan kaki
• tingkat 0 : tidak ada anestesi, dan kelainan anatomis
• tingkat 1 : ada anestesi, tetapi tidak ada kelainan anatomis
• tingkat 2 : terdapat kelainan anatomis
2. Cacat pada mata
• tingkat 0 : tidak ada kelainan pada mata ( termasuk visus )
• tingkat 1 : ada kelianan mata, tetapi tidak terlihat, visus sedikit berkurang
• tingkat 2 : ada lagoptalmus dan visus sangat terganggu ( visus 6/60, dapat menghitung jari pada jarak 6m )
D. Jenis-Jenis Cacat Kusta
Menurut djuanda, A, 1997 jenis dari cacat kusta di kelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu :
1. cacat primer adalah kelompok cacat yang di sebabkan langsung oleh aktivitas penyakit, terutama kerusakan akibat respon jarinagn terhadap m.laprae.
yang termasuk ke dalam cacata primer adalah :
a. cacat pada fungsi saraf :
• fungsi saraf sensorik misalnya : anestesi
• fungsi saraf motorik misalnya : daw hand, wrist drop, fot drop, clow tes, lagoptalmus
• fungsi saraf otonom dapat menyebabkan kulit menjadi kering dan elastisitas kulit berkurang, serta gangguan reflek vasodilatasi
b. inflamasi kuman pada kulit dan jaringan subkutan menyebabkan kulit berkerut dan berlipat-lipat
c. cacat pada jaingan lain akibat infiltrasi kuman kusta dapat terjadi pada tendon, ligamen, tulang rawan, tulang, testis, dan bola mata.
2. cacat sekunder
1. cacat ini terjadi akibat cacat primer, terutama adanya kerusakan saraf sensorik, motorik, dan otonom
2. kelumpuhan motorik menyebabkan kontraktur, sehingga terjadi gangguan berjalan dn mudah terjadinya luka
3. lagoptalmus menyebabkan kornea menjadi kering dan memudahkan terjadinya kreatitis
4. kelumpuhan saraf otonom menjadikan kulit kering dan berkurangnya elastisitas, akibat kulit mudah retak dan terjadi infeksi sekunder.
E. Klasifikasi
Tujuan Kalsifikasi adalah:
1. Penentuan prognosis
2. Penentuan terapi
3. Penentuan kriteria bebas dari obat dan pengawasan
4. Mengantisipsi terjadinya reaksi
5. Penyeragaman secara internasional –> kepentingan epidemiologis
Beberapa klasifikasi MH antara lain
1. Klasifikasi Internasional Madrid (1953)
• Lepromatous ( L)
• Tuberculoid (T)
• Indeterminate (I)
• Borderline (B)
2. Klasifikasi Ridley Jopling (1962)
• TT, BT, BB, BL, LL
3. Klasifikasi WHO (1981)
• Paucibacillary : BI –> Negatif
• Multibacillary –> Positif
• Dibagi menjadi 2 :
No. Kelainan kulit & hasil pemeriksaan Pause Basiler Multiple Basiler
1. Bercak (makula)
• jumlah
• ukuran
• distribusi
• konsistensi
• batas
• kehilangan rasa pada bercak

• kehilangan berkemampuan berkeringat,berbulu rontok pada bercak • 1-5
• Kecil dan besar
• Unilateral atau bilateral asimetris
• Kering dan kasar
• Tegas
• Selalu ada dan jelas

• Bercak tidak berkeringat, ada bulu rontok pada bercak • Banyak
• Kecil-kecil
• Bilateral, simetris
• Halus, berkilat
• Kurang tegas
• Biasanya tidak jelas, jika ada terjadi pada yang sudah lanjut

• Bercak masih berkeringat, bulu tidak rontok
2. Infiltrat
• kulit
• membrana mukosa tersumbat perdarahan dihidung • Tidak ada
• Tidak pernah ada • Ada,kadang-kadang tidak ada
• Ada,kadang-kadang tidak ada
3. Ciri hidung ”central healing” penyembuhan ditengah a. punched out lession
b. medarosis
c. ginecomastia
d. hidung pelana
e. suara sengau
4. Nodulus Tidak ada Kadang-kadang ada
5. Penebalan saraf tepi Lebih sering terjadi dini, asimetris Terjadi pada yang lanjut biasanya lebih dari 1 dan simetris
6. Deformitas cacat Biasanya asimetris terjadi dini Terjadi pada stadium lanjut
7. Apusan BTA negatif BTA positif
Untuk para petugas kesehatan di lapangan, bentuk klinis penyakit kusta cukup dibedakan atas dua jenis yaitu:

1. Kusta bentuk kering (tipe tuberkuloid)
• Merupakan bentuk yang tidak menular
• Kelainan kulit berupa bercak keputihan sebesar uang logam atau lebih, jumlahnya biasanya hanya beberapa, sering di pipi, punggung, pantat, paha atau lengan. Bercak tampak kering, perasaan kulit hilang sama sekali, kadang-kadang tepinya meninggi
• Pada tipe ini lebih sering didapatkan kelainan urat saraf tepi pada, sering gejala kulit tak begitu menonjol tetapi gangguan saraf lebih jelas
• Komplikasi saraf serta kecacatan relatif lebih sering terjadi dan timbul lebih awal dari pada bentuk basah
• Pemeriksaan bakteriologis sering kali negatif, berarti tidak ditemukan adanya kuman penyebab
• Bentuk ini merupakan yang paling banyak didapatkan di indonesia dan terjadi pada orang yang daya tahan tubuhnya terhadap kuman kusta cukup tinggi

2. Kusta bentuk basah (tipe lepromatosa)
• Merupakan bentuk menular karena banyak kuman dapat ditemukan baik di selaput lendir hidung, kulit maupun organ tubuh lain
• Jumlahnya lebih sedikit dibandingkan kusta bentuk kering dan terjadi pada orang yang daya tahan tubuhnya rendah dalam menghadapi kuman kusta
• Kelainan kulit bisa berupa bercak kamarahan, bisa kecil-kecil dan tersebar diseluruh badan ataupun sebagai penebalan kulit yang luas (infiltrat) yang tampak mengkilap dan berminyak. Bila juga sebagai benjolan-benjolan merah sebesar biji jagung yang sebesar di badan, muka dan daun telinga
• Sering disertai rontoknya alis mata, menebalnya cuping telinga dan kadang-kadang terjadi hidung pelana karena rusaknya tulang rawan hidung
• Kecacatan pada bentuk ini umumnya terjadi pada fase lanjut dari perjalanan penyakit
• Pada bentuk yang parah bisa terjadi ”muka singa” (facies leonina)
Diantara kedua bentuk klinis ini, didapatkan bentuk pertengahan atau perbatasan (tipe borderline) yang gejala-gejalanya merupakan peralihan antara keduanya. Bentuk ini dalam pengobatannya dimasukkan jenis kusta basah.
F.Tanda Dan Gejala
Dapat menyerang kulit, saraf, otot, ras, mata, jantung, testis
• Pada kulit –> tdp makula yg hipopigmentasi yg kurang rasa/tidak rasa, kulit kering dan pecah-pecah, terjadi madarosis
• Pada saraf –> Sensoris : hipestesi/anastesi –> ulkus
• Motoris : Paralisa otot, atropi otot dan kontraktur
• Otonom : gangguan pengeluaran keringat
• Penebalan saraf tepi
• Testis –> orchitis
• Mata –> Keratitis, iridosiklitis
• Secara umum permukaan tubuh yang sering diserang adalah permukaan tubuh yang memiliki sushu yg rendah seperti : muka, telinga, hidung dan ekstremitas
• Tanda-tanda khas pada makula adalah 5 A (anastesi, achromi,atropi,anhidrosis, alopesia)
Ada 3 tanda cardinal pada penyakit kusta bila salah satunya ada, tanda tersebut sudah cukup untuk menetapkan diagnosis penyakit :
1. lesi kulit yang anestesi;
2. penebalan saraf perifer;
3. ditemukan mycobacterium leprae.

Selain itu menurut Ridley dan toppling, kusta dapat dikelompokan berdasarkan gambaran klinik bekteriologi, histopatologi, dan imonologik menjadi 5 kelompok :

1. tipe tuberkuloid-tuberkuloid (TT).
Lesi mengenai kulit/saraf, bisa satu atau beberapa. Dapat berupa macula/plakat, berbatas jelas, dibagian tengah didapatkan lesi yang mengalami regresi atau penyembuhan, permukaan lesi dapat bersisik dengan tepi yang meninggi, gejalanya dapat disertai penebalan saraf perifer yang biasanya teraba, kelemahan otot dan sedikit rasa gatal.

2. tipe Borderline tuberkuloid (BT).
Lesi mengenai tepi TT, berupa macula anestesi/plak, sering disertai lesi satelit dipinggirnya, tetapi gambaran hipopigmentasi, gangguan saraf tidak seberat tipe tuberkuloid dan biasanya asimetrik.

3. tipe Borderline-Borderline (BB).
Merupakan tipe II yang paling tidak stabil, dan jarang dijumpai, lesi dapat berbentuk macula infilit, permukaannya dapat mengkilat, batas kurang jelas, jumlah melebihi tipe BT dan cenderung simetrik, bentuk, ukuran dan distribusinya bervariasi. Bisa didapat lesi punchedout yaitu hipopigmentasi yang oral pada bagian tengah, merupakan cirri khas tipe ini.

4. tipe Borderline Lepromatous (BL).
Lesi dimulai dengan macula, awalnya sedikit darem dengan cepat menyebar keseluruhan badan, macula lebih jelas dan lebih bervariasi bentuknya. Walau masih kecil papel dan nodus lebih tegas dengan distribusi yang hampir simetrik. Tanda-tanda kerusakan saraf berupa hilangnya sensasi, hipopigmentasi, berkurangnya kerinngat, dan gugurnya rambut lebih cepat muncul dibandingkan dengan tipe lepromatous dengan penebalan saraf yang dapat teraba pada tempat predileksi dikulit.

5. tipe Lepromatous-Lepromatous (LL).
Jumlah lesi sangat banyak, simetrik, permukaan halus, lebih eritem, mengkilap, terbatas tidak tegas dan tidak ditemukan gangguan anestesi dan antidrosis pada stadium dini, distribusi lesi khas, mengenai dahi, pelipis, dagu, cuping hidung, dibadan mengenai bagian belakang yang dingin, lengan punggung tangan dan permukaan ekstentor tungkai bawah, pada stadium lanjut tampak penebalan kulit yang progresif, cuping telinga menebal, garis muka menjadi kasar dan cekung, dapat disertai madarosis, iritis, dan keratitis. Dapat pula terjadi deforhitas hidung, dapat dijumpai pembesaran kelenjar limfe, orkitis dan atropi testis.

Stadium lanjutan :
 Penebalan kulit progresif
 Cuping telinga menebal
 Garis muka kasar dan cekung membentuk fasies leonine, dapat disertai madarosis, intis dan keratitis.
 Deformitas hidung
 Pembesaran kelenjar limfe, orkitis atrofi, testis
 Kerusakan saraf luas gejala stocking dan glouses anestesi.
 Penyakit progresif, makula dan popul baru.
 Tombul lesi lama terjadi plakat dan nodus.
 Serabut saraf perifer mengalami degenerasi hialin/fibrosis menyebabkan
 anestasi dan pengecilan tangan dan kaki.
 Tipe Interminate ( tipe yang tidak termasuk dalam klasifikasi Redley &Jopling)
 Beberapa macula hipopigmentasi, sedikit sisik dan kulit sekitar normal.
 Lokasi bahian ekstensor ekstremitas, bokong dan muka, kadang-kadang dapat ditemukan macula hipestesi dan sedikit penebalan saraf.
 Merupakan tanda interminate pada 20%-80% kasus kusta.

Gambaran klinis organ lain
 Mata : iritis, iridosiklitis, gangguan visus sampai kebutaan
 Tulang rawan : epistaksis, hidung pelana
 Tulang & sendi : absorbsi, mutilasi, artritis
 Lidah : ulkus, nodus
 Larings : suara parau
 Testis : ginekomastia, epididimitis akut, orkitis, atrofi
 Kelenjar limfe : limfadenitis
 Rambut : alopesia, madarosis
 Ginjal : glomerulonefritis, amilodosis ginjal, pielonefritis, nefritis interstitial.
G.Pemeriksaan Diagnostik
1. Pemeriksaan Bakterioskopik
Memiliki lesi yang paling aktif yaitu : yang paling erythematous dan paling infiltratif.
Secara topografik yang paling baik adalah muka dan telinga.
Denngan menggunakan Vaccinosteil dibuat goresan sampai didermis, diputar 90 derajat dan dicongkelkan, dari bahan tadi dibuat sediaan apus dan diwarnai Zeihlnielsen. Pada pemeriksaan akan tampak batang-batang merah yang utuh, terputus-putus atau granuler.
2. Test Mitsuda
Berupa penyuntikan lepromin secara intrakutan pada lengan, yang hasilnya dapat dibaca setelah 3 – 4 minggu kemudian bila timbul infiltrat di tempat penyuntikan berarti lepromim test positif.
Pemeriksaan Bakteriologis
Ketentuan pengambilan sediaan adalah sebagai berikut:
1. Sediaan diambil dari kelainan kulit yang paling aktif.
2. Kulit muka sebaiknya dihindari karena alasan kosmetik kecuali tidak ditemukan lesi ditempat lain.
3. Pemeriksaan ulangan dilakukan pada lesi kulit yang sama dan bila perlu ditambah dengan lesi kulit yang baru timbul.
4. Lokasi pengambilan sediaan apus untuk pemeriksaan mikobakterium leprae ialah:
a. Cuping telinga kiri atau kanan
b. Dua sampai empat lesi kulit yang aktif ditempat lain
5. Sediaan dari selaput lendir hidung sebaiknya dihindari karena:
a. Tidak menyenangkan pasien
b. Positif palsu karena ada mikobakterium lain
c. Tidak pernah ditemukan mikobakterium leprae pada selaput lendir hidung apabila sedian apus kulit negatif.
d. Pada pengobatan, pemeriksaan bakterioskopis selaput lendir hidung lebih dulu negatif dari pada sediaan kulit ditempat lain.
6. Indikasi pengambilan sediaan apus kulit:
a. Semua orang yang dicurigai menderita kusta
b. Semua pasien baru yang didiagnosis secara klinis sebagai pasien kusta
c. Semua pasien kusta yang diduga kambuh (relaps) atau karena tersangka kuman resisten terhadap obat
d. Semua pasien MB setiap 1 tahun sekali
7. Pemerikaan bakteriologis dilakukan dengan pewarnaan tahan asam, yaitu ziehl neelsen atau kinyoun gabett
8. Cara menghitung BTA dalam lapangan mikroskop ada 3 metode yaitu cara zig zag, huruf z, dan setengah atau seperempat lingkaran. Bentuk kuman yang mungkin ditemukan adalah bentuk utuh (solid), pecah-pecah (fragmented), granula (granulates), globus dan clumps.

Indeks Bakteri (IB):
Merupakan ukuran semikuantitatif kepadatan BTA dalam sediaan hapus. IB digunakan untuk menentukan tipe kusta dan mengevaluasi hasil pengobatan. Penilaian dilakukan menurut skala logaritma RIDLEY sebagai berikut:
0 :bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang
1 :bila 1-10 BTA dalam 100 lapangan pandang
2 :bila 1-10 BTA dalam 10 lapangan pandang
3 :bila 1-10 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
4 :bila 11-100 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
5 :bila 101-1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
6 :bila >1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang

Indeks Morfologi (IM)
Merupakan persentase BTA bentuk utuh terhadap seluruh BTA. IM digunakan untuk mengetahui daya penularan kuman, mengevaluasi hasil pengobatan, dan membantu menentukan resistensi terhadap obat.
H.Patofisiologi
Mekanisme penularan yang tepat belum diketahui. Beberapa hipotesis telah dikemukakan seperti adanya kontak dekat dan penularan dari udara. Selain manusia, hewan yang dapat tekena kusta adalah armadilo, simpanse, dan monyet pemakan kepiting.Terdapat bukti bahwa tidak semua orang yang terinfeksi oleh kuman M. leprae menderita kusta, dan diduga faktor genetika juga ikut berperan, setelah melalui penelitian dan pengamatan pada kelompok penyakit kusta di keluarga tertentu. Belum diketahui pula mengapa dapat terjadi tipe kusta yang berbeda pada setiap individu. Faktor ketidakcukupan gizi juga diduga merupakan faktor penyebab.
Penyakit ini sering dipercaya bahwa penularannya disebabkan oleh kontak antara orang yang terinfeksi dan orang yang sehat. Dalam penelitian terhadap insidensi, tingkat infeksi untuk kontak lepra lepromatosa beragam dari 6,2 per 1000 per tahun di Cebu, Philipinahingga 55,8 per 1000 per tahun di India Selatan.
Dua pintu keluar dari M. leprae dari tubuh manusia diperkirakan adalah kulit dan mukosa hidung. Telah dibuktikan bahwa kasus lepromatosa menunjukkan adanaya sejumlah organisme di dermis kulit. Bagaimanapun masih belum dapat dibuktikan bahwa organisme tersebut dapat berpindah ke permukaan kulit. Walaupun terdapat laporan bahwa ditemukanya bakteri tahan asam di epitel deskuamosa di kulit, Weddel et al melaporkan bahwa mereka tidak menemukan bakteri tahan asam di epidermis. Dalam penelitian terbaru, Job et al menemukan adanya sejumlah M. leprae yang besar di lapisan keratin superfisial kulit di penderita kusta lepromatosa. Hal ini membentuk sebuah pendugaan bahwa organisme tersebut dapat keluar melalui kelenjar keringat.
Pentingnya mukosa hidung telah dikemukakan oleh Schäffer pada 1898. Jumlah dari bakteri dari lesi mukosa hidung di kusta lepromatosa, menurut Shepard, antara 10.000 hingga 10.000.000 bakteri.Pedley melaporkan bahwa sebagian besar pasien lepromatosa memperlihatkan adanya bakteri di sekret hidung mereka. Davey dan Rees mengindikasi bahwa sekret hidung dari pasien lepromatosa dapat memproduksi 10.000.000 organisme per hari.
Pintu masuk dari M. leprae ke tubuh manusia masih menjadi tanda tanya. Saat ini diperkirakan bahwa kulit dan saluran pernapasan atas menjadi gerbang dari masuknya bakteri. Rees dan McDougall telah sukses mencoba penularan kusta melalui aerosol di mencit yang ditekan sistem imunnya. Laporan yang berhasil juga dikemukakan dengan pencobaan pada mencit dengan pemaparan bakteri di lubang pernapasan. Banyak ilmuwan yang mempercayai bahwa saluran pernapasan adalah rute yang paling dimungkinkan menjadi gerbang masuknya bakteri, walaupun demikian pendapat mengenai kulit belum dapat disingkirkan.
Masa inkubasi pasti dari kusta belum dapat dikemukakan. Beberapa peneliti berusaha mengukur masa inkubasinya. Masa inkubasi minimum dilaporkan adalah beberapa minggu, berdasarkan adanya kasus kusta pada bayi muda. Masa inkubasi maksimum dilaporkan selama 30 tahun. Hal ini dilaporan berdasarkan pengamatan pada veteran perang yang pernah terekspos di daerah endemik dan kemudian berpindah ke daerah non-endemik. Secara umum, telah disetujui, bahwa masa inkubasi rata-rata dari kusta adalah 3-5 tahun.
I.Diagnosis
Untuk mendiagnosis penyakit kusta diperlukan tanda-tanda utama (cardinal sign) yaitu:
1. bagian kulit dengan hipopigmentasi atau eritematous dengan kehilangan sebagian (hipestesi) atau seluruh (anastesi dari perasaan kulit thd rasa suhu, nyeri dan sentuh
2. kerusakan (penebalan atau nyeri) dari saraf kutan atau saraf perifer pada tempat-tempat predileksi
3. smear kulit yang diambil dengan tekhnik standar menunjukkan adanya kuman dengan morfologi M. Leparae yang khas
dibutuhkan minimal satu tanda cardinal untuk mendiagnosa penyakit Morbus Hansen
J.Patogenesis
Setelah mikobakterium leprae masuk kedalam tubuh, perkembangan penyakit kusta bergantung pada kerentanan seseorang. Respon setelah masa tunas dilampaui tergantung pada derajat sistem imunitas seluler (celuler midialet immune) pasien. Kalau sistem imunitas seluler tinggi, penyakit berkembang kearah tuberkoloid dan bila rendah berkembang kearah lepromatosa. Mikobakterium leprae berpredileksi didaerah-daerah yang relatif dingin, yaitu daerah akral dengan vaskularisasi yang sedikit.
Derajat penyakit tidak selalu sebanding dengan derajat infeksi karena imun pada tiap pasien berbeda. Gejala klinis lebih sebanding dengan tingkat reaksi seluler dari pada intensitas infeksi oleh karena itu penyakit kusta disebut penyakit imonologik.
K.Pencegahan
1. Penerangan dengan memberikan sedikit penjelasan tentang seluk beluk penyakit lepra pada pasien;
2. Pengobatan profilaksis dengan dosis yang lebih rendah dari pada dosis therapeutic;
3. Vaksinasi dengan BCG yang juga mempunyai daya profilaksis terhadap lepra.

L.Pengobatan
Perawatan Luka
Perawatan pada morbus hansen umumnya untuk mencegah kecacatan. Terjadinya cacat pada kusta disebabkan oleh kerusakan fungsi saraf tepi, baik karena kuman kusta maupun karena peradangan sewaktu keadaan reaksi netral.
Prinsip dari perawatan luka adalah imobilisasi dengan mengistirahatkan kaki yang luka (misalnya : tongkat, bidai ), merawat luka setiap hari dengan membersihkannya, membuang jaringan mati, dan menipiskan penebalan kulit yang selanjutnya di kompres.
Perawatan luka
§ Luka dibersihkan dengan sabun pada waktu direndam
§ Luka dibalut agar bersih
§ Bagian luka diistirahatkan dari tekanan
§ Bila bengkak, panas, bau bawa ke puskesmas
1.perawatan mata yang tidak tertutup rapat ( lagoptalmus )
1. gunakanlah cermin setiap hari untuk melihat apakah ada mata yang merah, bila ada laporkan ke petugas puskesmas
2. tariklah kulit di sudut mata, ke arah luar denganh jari tangan sebanyak 10 kali setiap latihan, lakukanlah 3 kali sehari.
3. lindungilah mata dari sinar matahari, debu dan angin
atau
§ Penderita memeriksa mata setiap hari apakah ada kemerahan atau kotoran
§ Penderita harus ingat sering kedip dengan kuat
§ Mata perlu dilindungi dari kekeringan dan debu
2.perawatan tangan yang mati rasa ( anestesi )
1. lindungilah tangan yang mati rasa dari panas, benda kasar dan tajam untuk mencegah luka
2. rendamlah tangan setiap hari dengan air bersih dalam baskom selama 30 menit untuk menjadikan kulit lembab.
3. setelah di rendam gosok kulit menebal dengan batu apung untuk menjadikan kulit lembut.
4. olesi dengan minyak kelapa bersih dalam keadaan basah.
Atau
§ Penderita memeriksa tangannya tiap hari untuk mencari tanda- tanda luka, melepuh
§ Perlu direndam setiap hari dengan air dingin selama lebih kurang setengah jam
§ Keadaan basah diolesi minyak
§ Kulit yang tebal digosok agar tipis dan halus
§ Jari bengkok diurut agar lurus dan sendi-sendi tidak kaku
§ Tangan mati rasa dilindungi dari panas, benda tajam, luka

3.perawatan tangan yang bengkok ( kontraktur )
1. latih jari tangan yang bengkok 3 kali sehari, supaya jari-jari tangan tidak menjadi kaku.
2. rendamlah tangan 3 kali sehari dengan air bersihselama 30 menit dan olesi tangan yang bengkok dengan minyak kelapa nersih dalam keadaan basah.
3. luruskan jari-jari tangan yang bengkok dengan tangan yang lain sebanyak 20 kali tiap latihan, lakukan 3 kali sehari
4. taruh tangan di atas paha dan luruskan jari-jari tangan sebanyak 20 kali setiap latihan, lakukan 3 kali sehari
4.Perawatan kaki yang mati rasa
§ Penderita memeriksa kaki tiap hari
§ Kaki direndam dalam air dingin lebih kurang ½ jam
§ Masih basah diolesi minyak
§ Kulit yang keras digosok agar tipis dan halus
§ Jari-jari bengkok diurut lurus
§ Kaki mati rasa dilindungi
4.pencegahan luka
1. selalu memakai alas kaki
2. jangan berjalan terlalu lama
3. berhati-hati terhadap api, air panas, dll
4. behati-hati saat duduk bersila
5. memeriksa keadaan kaki dan kulit apakah ada tanda-tanda kemerahan, melepuh.
5.perawatan tangan yang luka
1. kurangi tekanan pada tangan yang luka
2. luka harus selalu bersih, bila luka panas, bau dan bengkak segera ke puskesmas
3. rendamlah tiap hari tangan dengan air bersih selama 30 menit
4. balut luka dengan air bersih

Tanda penderita melaksanakan perawatan diri:
1) Kulit halus dan berminyak
2) Tidak ada kulit tebal dan keras
3) Luka dibungkus dan bersih
4) Jari-jari bengkak menjadi kaku

TERAPI MEDIK
Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah penyembuhan pasien kusta dan mencegah timbulnya cacat serta memutuskan mata rantai penularan dari pasien kusta terutama tipe yang menular kepada orang lain untuk menurunkan insiden penyakit.
Program Multi Drug Therapy (MDT) dengan kombinasi rifampisin, klofazimin, dan DDS dimulai tahun 1981. Program ini bertujuan untuk mengatasi resistensi dapson yang semakin meningkat, mengurangi ketidaktaatan pasien, menurunkan angka putus obat, dan mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam jaringan.
Rejimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai rekomendasi WHO 1995 sebagai berikut:

a) Tipe PB ( PAUSE BASILER)
Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa :
• Rifampisin 600mg/bln diminum didepan petugas
• DDS tablet 100 mg/hari diminum di rumah
Pengobatan 6 dosis diselesaikan dalam 6-9 bulan dan setelah selesai minum 6 dosis dinyatakan RFT meskipun secara klinis lesinya masih aktif. Menurut WHO(1995) tidak lagi dinyatakan RFT tetapi menggunakan istilah Completion Of Treatment Cure dan pasien tidak lagi dalam pengawasan.
b) Tipe MB ( MULTI BASILER)
Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa:
• Rifampisin 600mg/bln diminum didepan petugas
• Klofazimin 300mg/bln diminum didepan petugas dilanjutkan dengan klofazimin 50 mg /hari diminum di rumah
• DDS 100 mg/hari diminum dirumah
Pengobatan 24 dosis diselesaikan dalam waktu maksimal 36 bulan sesudah selesai minum 24 dosis dinyatakan RFT meskipun secara klinis lesinya masih aktif dan pemeriksaan bakteri positif. Menurut WHO (1998) pengobatan MB diberikan untuk 12 dosis yang diselesaikan dalam 12-18 bulan dan pasien langsung dinyatakan RFT.

c) Dosis untuk anak
Klofazimin:
• Umur dibawah 10 tahun :
o Bulanan 100mg/bln
o Harian 50mg/2kali/minggu
• Umur 11-14 tahun
o Bulanan 100mg/bln
o Harian 50mg/3kali/minggu
DDS:1-2mg /Kg BB
Rifampisin:10-15mg/Kg BB
d) Pengobatan MDT terbaru
Metode ROM adalah pengobatan MDT terbaru. Menurut WHO(1998), pasien kusta tipe PB dengan lesi hanya 1 cukup diberikan dosis tunggal rifampisin 600 mg, ofloksasim 400mg dan minosiklin 100 mg dan pasien langsung dinyatakan RFT, sedangkan untuk tipe PB dengan 2-5 lesi diberikan 6 dosis dalam 6 bulan. Untuk tipe MB diberikan sebagai obat alternatif dan dianjurkan digunakan sebanyak 24 dosis dalam 24 jam.
e) Putus obat
Pada pasien kusta tipe PB yang tidak minum obat sebanyak 4 dosis dari yang seharusnya maka dinyatakan DO, sedangkan pasien kusta tipe MB dinyatakan DO bila tidak minum obat 12 dosis dari yang seharusnya.

ASUHAN KEPERAWATAN DERMATITIS KONTAK

LANDASAN TEORI

DERMATITIS KONTAK

 

 

  1. TEORI MEDIS
  • Pengertian

    Dermatitis kontak ( dermatitis venenata ) merupakan reaksi inflamasi kulit terhadap unsure – unsure fisik, kimia, atau biologi. Penyakit ini adalah kelainan inflamasi yang sering bersifat ekzematosoa dan disebabkan oleh reaksi kulit terhadap sejumlah bahan yang iritatif atau alergenik. Dermatitis kontak adalah peradangan oleh kontak dengan suatu zat tertentu, ruamnya terbatas pada daerah tertentu dan seringkali memiliki batas yang tegas.

     

  • Penyebab

     

    Zat – zat yang dapat menyebabkan dermatitis kontak melelui 2 cara yaitu :

  1. Iritasi ( dermatitis iritan )
  2. Reaksi alergi ( dermatitis kontak alergika )
  • Sabun detergen dan logam – logam tertentu bisa mengiritasi kulit setelah beberapa kali digunakan.
  • Penyebab dermatitis kontak alergika

    Kosmetika : Cat kuku, penghapus cat kuku, deodorant, pelemban lotion sehabis bercukur, parfum, tabir surya.

  • Senyawa kimia ( dalam perhiasan ) : nikel

    Tanaman : Racun IVY ( tanaman merambat ) racun pohon ek, sejenis rumput liar, primros.

  • Obat – obat yang terkandung dalam kritim kulit : antibiotic ( penisilin, sulfonagnid, neomisin ), autihistamin ( defenhidramin )
  • Zat kimia yang digunakan dalam pengelolaan pakaian.
  • Manifestasi klinik

     

    Gejala dermatitis kontak mencakup keluhan :

    • Gatal – gatal
    • Rasa terbakar
    • Lesi kulit ( vesikel )
    • Edema yang diikuti oleh pengeluaran secret
    • Pembentukan krusta serta akhirnya mongering dan mengelupas kulit.

    Reaksi yang berulang – ulang dapat disertai penebalan kulit dan perubahan pigmentasi. Invasi sekunder oleh bakteri dapat terjadi pada kulit yang mengalami ekskoriasis karena digosok atau digaruk. Biasanya tidak terdapat gejala sistemik kecuali jika erupsinya tersebar luas.

     

  • Patofisiologi

    Dermatitis Kontak Iritan

    Pada dermatitis kontak iritan kelainan kulit timbul akibat kerusakan sel yang disebabkan oleh bahan iritan melalui kerja kimiawi maupun fisik. Bahan iritan merusak lapisan tanduk, dalam beberapa menit atau beberapa jam bahan-bahan iritan tersebut akan berdifusi melalui membran untuk merusak lisosom, mitokondria dan komponen-komponen inti sel. Dengan rusaknya membran lipid keratinosit maka fosfolipase akan diaktifkan dan membebaskan asam arakidonik akan membebaskan prostaglandin dan leukotrin yang akan menyebabkan dilatasi pembuluh darah dan transudasi dari faktor sirkulasi dari komplemen dan system kinin. Juga akan menarik neutrofil dan limfosit serta mengaktifkan sel mast yang akan membebaskan histamin, prostaglandin dan leukotrin. PAF akan mengaktivasi platelets yang akan menyebabkan perubahan vaskuler. Diacil gliserida akan merangsang ekspresi gen dan sintesis protein.

    Pada dermatitis kontak iritan terjadi kerusakan keratisonit dan keluarnya mediator- mediator. Sehingga perbedaan mekanismenya dengan dermatis kontak alergik sangat tipis yaitu dermatitis kontak iritan tidak melalui fase sensitisasi.
    Ada dua jenis bahan iritan yaitu :

  1. Iritan kuat akan menimbulkan kelainan kulit pada pajanan pertama pada hampir semua orang,
  2. Iritan lemah hanya pada mereka yang paling rawan atau mengalami kontak berulang-ulang. Faktor kontribusi, misalnya kelembaban udara, tekanan, gesekan dan oklusi, mempunyai andil pada terjadinya kerusakan tersebut.

 

Dermatitis Kontak Alergi
Pada dermatitis kontak alergi, ada dua fase terjadinya respon imun tipe IV yang menyebabkan timbulnya lesi dermatitis ini yaitu :

  1. Fase Sensitisasi

Fase sensitisasi disebut juga fase induksi atau fase aferen. Pada fase ini terjadi sensitisasi terhadap individu yang semula belum peka, oleh bahan kontaktan yang disebut alergen kontak atau pemeka. Terjadi bila hapten menempel pada kulit selama 18-24 jam kemudian hapten diproses dengan jalan pinositosis atau endositosis oleh sel LE (Langerhans Epidermal), untuk mengadakan ikatan kovalen dengan protein karier yang berada di epidermis, menjadi komplek hapten protein.
Protein ini terletak pada membran sel Langerhans dan berhubungan dengan produk gen HLA-DR (Human Leukocyte Antigen-DR). Pada sel penyaji antigen (antigen presenting cell).

Kemudian sel LE menuju duktus Limfatikus dan ke parakorteks Limfonodus regional dan terjadilah proses penyajian antigen kepada molekul CD4+ (Cluster of Diferantiation 4+) dan molekul CD3. CD4+berfungsi sebagai pengenal komplek HLADR dari sel Langerhans, sedangkan molekul CD3 yang berkaitan dengan protein heterodimerik Ti (CD3-Ti), merupakan pengenal antigen yang lebih spesifik, misalnya untuk ion nikel saja atau ion kromium saja. Kedua reseptor antigen tersebut terdapat pada permukaan sel T. Pada saat ini telah terjadi pengenalan antigen (antigen recognition).
Selanjutnya sel Langerhans dirangsang untuk mengeluarkan IL-1 (interleukin-1) yang akan merangsang sel T untuk mengeluarkan IL-2. Kemudian IL-2 akan mengakibatkan proliferasi sel T sehingga terbentuk primed me mory T cells, yang akan bersirkulasi ke seluruh tubuh meninggalkan limfonodi dan akan memasuki fase elisitasi bila kontak berikut dengan alergen yang sama. Proses ini pada manusia berlangsung selama 14-21 hari, dan belum terdapat ruam pada kulit. Pada saat ini individu tersebut telah tersensitisasi yang berarti mempunyai resiko untuk mengalami dermatitis kontak alergik.

 

  1. Fase elisitasi

Fase elisitasi atau fase eferen terjadi apabila timbul pajanan kedua dari antigen yang sama dan sel yang telah tersensitisasi telah tersedia di dalam kompartemen dermis. Sel Langerhans akan mensekresi IL-1 yang akan merangsang sel T untuk mensekresi Il-2. Selanjutnya IL-2 akan merangsang INF (interferon) gamma. IL-1 dan INF gamma akan merangsang keratinosit memproduksi ICAM-1 (intercellular adhesion molecule-1) yang langsung beraksi dengan limfosit T dan lekosit, serta sekresi eikosanoid. Eikosanoid akan mengaktifkan sel mast dan makrofag untuk melepaskan histamin sehingga terjadi vasodilatasi dan permeabilitas yang meningkat. Akibatnya timbul berbagai macam kelainan kulit seperti eritema, edema dan vesikula yang akan tampak sebagai dermatitis.

Proses peredaan atau penyusutan peradangan terjadi melalui beberapa mekanisme yaitu proses skuamasi, degradasi antigen oleh enzim dan sel, kerusakan sel Langerhans dan sel keratinosit serta pelepasan Prostaglandin E-1dan 2 (PGE-1,2) oleh sel makrofag akibat stimulasi INF gamma. PGE-1,2 berfungsi menekan produksi IL-2R sel T serta mencegah kontak sel T dengan keratisonit. Selain itu sel mast dan basofil juga ikut berperan dengan memperlambat puncak degranulasi setelah 48 jam paparan antigen, diduga histamin berefek merangsang molekul CD8 (+) yang bersifat sitotoksik. Dengan beberapa mekanisme lain, seperti sel B dan sel T terhadap antigen spesifik, dan akhirnya menekan atau meredakan peradangan.

 

  • Pemeriksaan Penunjang

    Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis gangguan integument yaitu :

    • Biopsi kulit

      Biopsi kulit adalah pemeriksaan dengan cara mengambil cintih jaringan dari kulit yang terdapat lesi.

      Biopsi kulit digunakan untuk menentukan apakah ada keganasan atau infeksi yang disebabkan oleh bakteri dan jamur.

    • Uji kultur dan sensitivitas

      Uji ini perlu dilakukan untuk mengetahui adanya virus, bakteri, dan jamur pada kulit.

      Kegunaan lain adalah untuk mengetahui apakah mikroorganisme tersebut resisten pada obat – obat tertentu.

      Cara pengambilan bahan untuk uji kultur adalah dengan mengambil eksudat pada lesi kulit.

    • Pemeriksaan dengan menggunakan pencahayaan khusus

      Pemeriksaan kulit perlu mempersiapkam pencahayaan khusus sesuai kasus. Factor pencahayaan memegang peranan penting.

    • Uji tempel

      Uji ini dilakukan pada klien yang diduga menderita alergi.

      Untuk mengetahui apakah lesi tersebut ada kaitannya dengan factor imunologis.

      Untuk mengidentifikasi respon alergi

      Uji ini menggunakan bahan kimia yang ditempelkan pada kulit, selanjutnya dilihat bagaimana reaksi local yang ditimbulkan.

      Apabila ditemukan kelainan pada kulit, maka hasil nya positif.

       

  • Pencegahan

    Pencegahan dermatitis kontak berarti menghindari berkontak dengan bahan yang telah disebutkan di atas. Strategi pencegahan meliputi:

    • Bersihkan kulit yang terkena bahan iritan dengan air dan sabun. Bila dilakukan secepatnya, dapat menghilangkan banyak iritan dan alergen dari kulit.
    • Gunakan sarung tangan saat mengerjakan pekerjaan rumah tangga untuk menghindari kontak dengan bahan pembersih.
    • Bila sedang bekerja, gunakan pakaian pelindung atau sarung tangan untuk menghindari kontak dengan bahan alergen atau iritan.

 

 

  • Penatalaksanaan

     

    Tujuan penatalaksanaan adalah untuk mengistirahatkan kulit yang sakit dan melindunginya terhadap kerusakan lebih lanjut. Riwayat sakit yang rinci harus dianamnesia. Kemudian iritan yang menyebabkan didentifikasi dan dihilangkan, iritasi local harus dihindari, dan pemakaian sabun umumnya tidak dilakukan sebelum terjadi kesembuhan banyak preparat dianjurkan penggunaannya untuk meredakan dermatitis. Umumya lotion yang netral dan tidak mengandung obat dapat dioleskan pada bercak – bercak eritema ( inflamasi kulit ) yang kecil. Kompres yang sejuk dan basah juga dapat dilakukan pada daerah dermatitis vesikuler yang kecil. Remukan halus es yang ditambahkan pada air kompres kerapkali memberikan efek antipruritus. Kompres basah biasanya membantu membersihkan lesi eozema yang mengeluarkan secret. Kemudian preparat krim atau salep yang mengandungsalah satu jenis kostikoateroid dioleskan tipis – tipis. Mandi dengan larutan yang mengandung obat dapat diresepkan, untuk dermatitis dengan daerah – daerah lesi yang lebih luas. Pada dermatitis yang menyebar luas, pemberian kortokosteroid jangka pendek dapat diprogramkan.

 

 

 

  1. TEORI KEPERAWATAN
  • Pengkajian
  1. Aktivitas / Istirahat

    Tanda : Penurunan kekuatan, tahanan, Perubahan tonus

  2. Sirkulasi

    Tanda : pembentukan edema jaringan

  3. Integritas Ego

    Gejala : Pekerjaan, masalah tentang keluarga

    Tanda : ansietas, menarik diri

  4. Eliminasi

    Tanda : Diuresis ( setelah kebocoran kapiler dan mobilisasi cairan ke dalam sirkulasi )

  5. Makanan / Cairan

    Tanda : edema jaringan umum

  6. Neurosensori

    Tanda : perubahan orientasi, perilaku

  7. Nyeri / kenyamanan

    Gejala : nyeri pada kulit

  8. Pernapasan

    Gejala : terkurung dalam ruang tertutup, terpajan lama

  9. Keamanan

    Tanda : adanya destruksi jaringan.

 

  • Diagnosa keperawatan
  1. Kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan perubahan fungsi barier kulit

    Sasaran     : pemeliharaan integritas kulit

    Hasil yang diharapkan :

  • Mempertahankan integritas kulit
  • Tidak ada laserasi
  • Tidak ada tanda – tanda cedera termal
  • Tidak ada infeksi
  • Memberikan obat topical yang diprogramkan
  • Menggunakan obat yang diresepkan sesuai jadwal.

 

INTERVENSI 

RASIONAL 

Mandiri:

  1. pantau keadaan kulit pasien
  2. Jaga dengan cermat terhadap resiko terjadinya cedera termal akibat penggunaan kompres hangat dengan suhu yang terlalu tinggi dan akibat cidera panas yang tidak terasa ( bantalan pemanasan, radiator )

HE:

  1. Anjurkan pasien untuk menggunakan kosmetik dan preparat tabir surya.

kolaborasi

  1. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat anti histamine dan salep kulit

 

  • Mengetahui kondisi kulit untuk dilakukan pilihan intervensi yang tepat
  • Penderita dermatosis dapat mengalami penurunan sensitivitas terhadap panas.

     

     

 

 

  • Banyak masalah kosmetika pada hakekatnya semua kelainan malignitas kulit dapat dikaitkan dengan kerusakan kulit kronik.
  • Penggunaan anti histamine dapat mengurangi respon gatal serta mempercepat proses pemulihan

 

 

  1. Nyeri dan yang berhubungan dengan lesi kulit

    Sasaran : peredaan ketidaknyamanan

    Hasil yang diharapkan :

  • Mencapai peredaan gangguan rasa
  • Mengutarakan dengan kata – kata bahwa gatal telah reda
  • Memperlihatkan tidak adanya gejala ekskoriasi kulit karena garukan
  • Mematuhi terapi yang diprogramkan
  • Pertahankan keadekuatan hidrasi dan lubrikasi kulit.
  • Menunjukkan kulit utuh ; kulit menunjukkan, kemajuan dalam penampilan yang sehat.

     

INTERVENSI 

RASIONAL 

Mandiri:

  1. Periksa daerah yang terlibat

     

 

  1. Upaya untuk menemukan penyebab gangguan rasa nyaman

     

  2. Mencatat hasil – hasil observasi secara rinci dengan memakai terminology deskriptif.

     

 

 

  1. Mengantisipasi reaksi alergi yang mungkin terjadi ; mendapatkan riwayat pemakaian obat.

 

  1. Kendalikan factor – factor iritan

     

  2. Pertahankan kelembaban kira – kira 60 % ; gunakan alat pelembab.

 

  1. Pertahankan lingkungan dingin

 

  1. Gunakan sabun ringan ( Dove ) atau sabun yang dibuat untuk kulit sensitive ( Neutrogena, Avveno ).
  2. Lepaskan kelebihan pakaian atau peralatan di tempat tidur.
  3. Cuci linen tempat tidur dan pakaian dengan sabun ringan

 

  1. Hentikan pemajanan berulang terhadap detergen, pembersih, dan pelarut.

 

  1. Gunakan tindakan perawatan kulit untuk mempertahankan integritas kulit dan meningkatkan kenyamanan pasien.

 

  1. lakukan kompres penyejuk dengan air suam – suam kuku ataukompres dingin guna meredakan rasa gatal.

 

  1. Atasi kekeringan ( serosis ) sebagaimana dipreskripsikan.

     

 

 

Kolaborasi:

 

  1. Oleskan lotion dan krim kulit segera setelah mandi

 

  1. Gunakan terapi topical seperti yang dipreskripsikan.

 

  1. Anjurkan pasien untuk menghindari pemakaian salep ayau lotion yang dibeli tanpa resep dokter.
  2. Jaga agar kuku selalu terpangkas.


 

 

  1. Pemahaman tentang luas dan karakteristik kulit meliputi bantuan dalam menyusun rencana intervensi.
  2. Membantu mengidentifikasi tindakan yang tepat untuk memberikan kenyamanan.

 

  1. Deskripsi yang akurat tentang erupsi kulit diperlukan untuk diagnosisi dan pengobatan. Banyak kondisi kulit tampak serupa tetapi mempunyai etiologi yang berbeda. Respons inflamasi kutan mungkin mati pada pasien lansia.
  2. Ruam menyeluruh terutama dengan aeitan yang mendadak dapat mennjukkan reaksi alergi terhadap obat.

 

  1. Rasa gatal diperburuk oleh panas, kimia, dan fisik.
  2. Dengan kelembaban yang rendah, kulit akan kehilangan air.

 

  1. Kesejukan mengurangi gatal

     

  2. Upaya ini mencakup tidak adanya larutan detegen, zat pewarna atau bahan pengeras.

 

  1. Meningkatkan lingkungan yang sejuk

 

  1. Sabun yang keras dapat menimbulkan iritasi kulit.

     

  2. Setiap substansi yang mneghilangkan air, lipid atau protein dari epidermis akan mengubah fungsi barier kulit.

     

  3. Kulit merupakan barier yang penting yang harus dipertahankan keutuhannya agar dapat berfungsi dengan benar.

 

  1. Penghisapan air yang bertahap dari kasa kompres akan menyejukkan kulit dan meredakan pruritus.
  2. Kulit yang kering dapat menimbulkan daerah dermatitis dengan kemerahan, gatal, deskuamasi dan pada bentuk yang lebih berat, pembengkakan, pembentukan lepuh, keretakan dan eksudat.

     

     

  3. Hidrasi yang efektif pada stratum korneum mencegah gangguan lapisan barier pada kulit.

 

  1. Tindakan ini membantu meredakan gejala

     

 

  1. Masalah pasien dapat disebabkan oleh iritasi atau sensitisasi karena pengobatan sendiri.

 

  1. Pemotongan kuku akan mengurangi kerusakan kulit karena garukan.

 

 

  1. perubahan pola tidur yang berhubungan dengan pruritus

    Sasaran : Pencapaian tidur yang nyenyak.

    Hasil yang diharapkan :

  • Mencapai tidur yang nyenyak
  • Melaporkan peredaan rasa gatal
  • Mempertahankan kondisi lingkungan yang tepat
  • Menghindari konsumsi kafein pada sore gari dan menjelang tidur pada malam hari.
  • Mengenali tindakan untuk mneingkatkan tidur.
  • Mengalami pola tidur / istirahat yang memuaskan.

INTERVENSI

RASIONAL

Mandiri :

  1. Bantu pasien melakukan gerak badan secara teratur

 

  1. jaga kamar tidur agar tetap memiliki ventilasi dan kelembaban yang baik.

 

Kolaborasi:

 

  1. Cegah dan obati kulit yang kering

     

HE:

  1. Anjurkan kepada klien menjaga kulit selalu lembab

 

 

  1. Anjurkan klien Menghindari minuman yang mengandung kafein menjelang tidur di malam hari.
  2. Anjurkan klien Mengerjakan hal – hal yang ritual dan rutin menjelang tidur.

 

  1. Gerak badan memberikan efek yang menguntungkan untuk tidur jika dilaksanakan pada sore hari.
  2. Udara yang kering membuat kulit terasa gatal. Lingkungan yang nyaman meningkatkan relaksasi.

 

 

  1. Pruritus noeturnal mengganggu tidur yang normal.

 

  1. Tindakan ini mencegah kehilangan air. Kulit yang kering dan gatal biasanya tidak dapat disembuhkan tetapi bisa dikendalikan.

 

  1. Kafein memiliki efek puncak 2 – 4 jam sesudah dikonsumsi.

 

 

  1. Tindakan ini memudahkan peralihan dari keadaan terjaga menjadi keadaan tertidur. 

 

  1. Perubahan citra tubuh yang berhubungan dengan penampakan kulit yang tidak baik.

    Sasaran : Pengembangan peningkatan penerimaan diri.

    Hasil yang diharapkan :

  • Mengembangkan peningkatan kemauan untuk menerima keadaan diri.
  • Mengikuti dan turut berpatisipasi dalam tindakan perawatan – mandiri.
  • Melaporkan perasaan dalam penegndalian situasi.
  • Menguatkan kembali dukungan positif dari diri sendiri.
  • Mengutarakan perhatian terhadap diri sendiri yang lebih sehat.
  • Tampak tidak begitu memperhatikan kondisi.menggunakan teknik menyembunyikan kekurangan dan menekankan teknik untuk meningkatkan penampilan.

 

 

INTERVENSI 

RASIONAL 

Mandiri:

  1. Kaji adanya gangguan pada citra diri pasien ( menghindari kontak mata, ucapan yang merendahkan diri sendiri, ekpresi keadaan muak terhadap kondisi kulitnya ).
  2. Identifikasi stadium psikososial tahap perkembangan.

 

 

  1. Berikan kesempatan untuk pengungkapan. Dengarkan ( dengan cara yang terbuka, tidak menghakimi ) untuk mengekspresikan berduka / ansietas tentang perubahan citra tubuh.
  2. Nilai rasa keprihatinan dan ketakutan pasien. Bantu pasien yang cemas dalam mengembangkan kemampuan untuk menilai diri dan mengenali serta mengatasi masalah.

 

  1. dorong sosialisasi dengan orang lain 

 

  1. Gangguan citra diri akan menyertai setiap penyakit atau keadaan yang tampak nyata bagi pasien. Kesan sesorang terhadap dirinya sendiri akan berpengaruh pada konsep diri.
  2. Terhadap hubungan antara stadium perkembangan, citra diri dan reaksi serta pemahaman pasien terhadap kondisi kulitnya.
  3. Pasien membutuhkan pengalaman yang harus didengarkan dan dipahami.

 

 

 

 

  1. Tindakan ini memberikan kesempatan pada petugas kesehatan untuk menetralkan kecemasan yang tidak perlu terjadi dan memulihkan realitas situasi. Ketakutan merupakan unsure yang merusak adaptasi pasien.
  2. Meningkatkan penerimaan diri dan sosialisasi. 

 

 

  1. Kurang pengetahuan tentang perawatan kulit dan cara – cara menangani kelainan kulit.

    Sasaran : Pemahaman terhadap perawatan kulit

    Hasil yang diharapkan :

  • Memiliki pemahaman terhadap perawatan diri
  • Mengikuti terapi seperti yang diprogramkan dan dapat mengungkapkan rasional tindakan yang dilakukan.
  • Menjalankan mandi, pencucian, dan balutan basah sesuai yang diprogramkan.
  • Gunakan obat topical dengan tepat
  • Memahami pentingnya nutrisi unutk kesehatan kulit.

 

 

INTERVENSI 

RASIONAL 

  1. Tentukan apakah pasien mnegetahui ( memahami dan salah mengerti ) tentang kondisi dirinya.
  2. Jaga agar pasien mendapatkan informasi yang benar ; memperbaiki kesalahan konsepsi / informasi
  3. Peragakan penerapan terapi yang diprogramkan ( kompres basah ; obat topical )
  4. Berikan nasihat kepada pasien untuk menjaga agar kulit tetap lembab dan fleksibel dengan tindakan hidrasi dan pengolesan krim serta lotion kulit.

 

 

 

  1. Dorong pasien untuk mendapatkan status nutrisi yang sehat. 
  1. Memberikan data dasar untuk mengembangkan rencana penyuluhan.

 

  1. Pasien harus memiliki perasaan bahwa ada sesuatu yang dapat mereka perbuat. Kebanyakan pasien merasakan manfaatnya.
  2. Memungkinkan pasien memperoleh kesempatan untuk menunjukkan cara yang tepat unutk melakukan terapi.
  3. Stratum korneum memerlukan air agar fleksibilitas kulit tetap terjaga. Pengolesan krim atau lotion untuk melembabkan kulit akan memcegah agar kulit tidak menjadi kering, kasar, retak, dan bersisik.
  4. Penampakan kulit mencerminkan kesehatan umum seseorang. Perubahan pada kulit dapat menandakan status nutrisi yang abnormal.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

  1. Resiko infeksi berhubungan dengan lesi, bercak – bercak merah pada kulit

    Sasran : tidak adanya komplikasi

    Hasil yang diharapkan :

  • Tetap bebas dari infeksi
  • Mengungkapakn tindakan perawatan kulit yang mneingktakan kebersihan dan mencegah kerusakan.
  • Mengidentifikasi tanda dan gejala infeksi untuk dilaporkan
  • Mengidentifikasi efek merugikan dari obat yang harus dilaporkan ke petugas perawatan kesehatan
  • Berpartisipasi dalam tindakan perawatan kulit ( mis : penggantian balutan, mandi )

INTERVENSI

RASIONAL 

  1. Miliki indeksi kecurigaan yang tinggi terhadap suatu infeksi pada pasien yang system kekebalannya teganggu.
  2. Berikan petunjuk yagn jelas dan rinci kepada pasien mengenai program terapi

 

 

 

  1. Laksanakan pemakaian kompres basah seperti yang diprogramkan untuk mengurangi intensitas inflamasi
  1. Setiap keadaan yang mneggangu status imun akan memperbesar resiko terjadinya infeksi kulit.

 

  1. Pendidikan pasien yang efektif bergantung pada ketrampilan – ketrampilan interpersonal professional kesehatan dan pada pemberian instruksi yang jelas yang diperkuat dengan instruksi tertulis.
  2. Kompres basah akan menghasilkan pendinginan lewat pengisatan yang menimbulkan vasokontriksi pembuluh drah kulit dan dengan demikian mengurangi eritema serta produksi serum.